Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

Psikologi Prasangka Orang Indonesia

Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia.

1. Ilustrasi
Tahun 1989 selagi mahasiswa saya sempat mengikuti sebuah penelitian di Kalimantan dan mendapatkan briefing dari peneliti senior di Perguruan Tinggi di Banjarmasin . Setelah briefing usai, Cantika, mahasiswi asal Banjar yang juga terlibat dalam penelitian mengajak Saya dengan berkata ” Kang , mari main kelamin saya!” Saya karuan saja rikuh. Pikir saya ”gila juga nih mahasiswi, baru aja kenal udah ngajajak yang macam-macam” . Membaca bahasa tubuh saya yang keGeEran , Cantika langsung menimpali ”Wee jangan berpikir yang bukan-bukan, ya maksud saya ayo main ke kamar (lamin=kamar) kos saya untuk ambil sejumlah buku”.

Tahun 1997 di ruang training , saya membaca name tag seorang peserta tertulis Endang Kosasih kemudian mengajak bicara dalam bahasa Sunda.” Kumaha Pak Endang, damang yeuh, tos kagungan putra sabaraha? Parantos lami didamel di dieu ? ” Ia hanya mendapatkan jawaban diam dan mata melongo dari peserta. Saat saya bertanya “kenapa kok bengong pak ¿ . Jawab peserta tersebut “Maaf pak, nama saya Endang Kosasih-memang nama Sunda, marga Saya Sembiring Meliala, ayah saya punya sahabat yang dikaguminya ,berhnama Endang Kosasih orang Sunda dan memberi nama itu pada saya”.

Saat pertama kali ke Aceh pasca amuk samudra, Maret 2005 begitu turun di Bandara Blang Bintang dengan wajah sangar , tubuh denan dada dibusungkan dan tangan bertenaga sejumlah pria menahan saya (belakangan diketahui orang ini anggota GAM) dan mengajukan pertanyaan , ”Siapa Nama ”. Saya menjawab lantang ”Nama saya Asep Haerul Gani”. Si penanya , bertanya lagi, ”Orang Sunda , ya dari daerah Kartosuwiryo”. Saya jawab ” Betul sekali, saya orang Sunda dari daerah Garut, Kartosuwiryo dari daerah Limbangan Garut sama dengan saya”. Para penanya ini herannya malah melemah dan memberi isyarat kepada temannya untuk mempersilakan saya mendapatkan mobil sewaan. Masih teringat saja si penanya berkata lirih ”Anda seperjuangan dengan Saya, Kita di Aceh menghargai Pak Kartosuwiryo teman seperjuangan Teuku Daud Beureh”. Selama bepergian ke Aceh aman-aman saja . Berbeda dengan pengalaman teman-teman saya yang justru kena palak berkali-kali karena gara-gara namanya dikaitkan dengan nama sang tokoh orde baru.

2. Prasangka dalam kehidupan manusia
PRASANGKA adalah tema utama dari tiga cerita di atas . Masih banyak cerita-cerita lainnya yang saya alami yang bila ditarik benang merahnya bertemakan prasangka. Saking banyaknya cerita-cerita dalam hidup saya yang bertema Prasangka, sampai-sampai saya menduga betapa tidak mudah menjadi orang yang merdeka dari prasangka.

Prasangka adalah praduga yang bisa berkonotasi positif atau negatif trhadap suatu objek. Prasangka dalam bahasa Arab adalah dzan. Prasangka yang berkonotasi positif disebut dengan husnuzhan sedangkan prasangka yang berkonotasi negatif diistilahkan Suudzhon. Prasangka adalah fenomena persepsi. Kita menerima informasi mengenai objek lalu mempersepsikannya. Persepsi kita tentang sesuatu sangat tergantung seberapa banyak informasi yang anda peroleh tentangnya. Informasi yang sedikit dan hanya satu sisi tentu saja akan menyebabkan persepsi seseorang terhadap sesuatu mengalami bias. Semakin bias sebuah informasi, maka prasangka pun semakin menjadi.

Manusia terbelenggu dalam prasangka sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Manusia tidak bebas dari prasangka sejak lahir dari liang rahim hingga masuk liang kubur. Manusia bisa berprasangka terhadap apapun mulai dari makanan yang dimakan, pakaian yang disandang, peralatan yang diiklankan di TV, Berita yang tertulis di surat kabar, kendaraan yang ditumpangi, buku yang dibaca hingga tokoh yang naik daun. Objek prasangka bisa hal biasa yang dipandang nista hingga hal yang luhur dipandang agung . Manusia bisa berprasangka terhadap Nama, Gelar, Jabatan, Pekerjaan. Manusia pun bisa berprasangka terhadap pakaian yang anda kenakan, kelompok tempat anda berafiliasi, rekan-rekan yang menjadi sahabat anda bahkan pada aktifitas keagamaan yang anda geluti.

Meskipun prasangka pada awalnya maknanya adalah netral, bisa positif juga negatif, dalam sejumlah kajian psikologi seakan kata prasangka terjadi penyempitan makna. Prasangka cenderung dimaknai dengan praduga yang berkonotasi negatif terhadap objek tertentu diakibatkan oleh bias karena kurang lengkapnya informasi, dan semakin diperparah dengan adanya penilaian yang negatif dan merendahkan terhadap objek/kelompok yang bukan bagian dari identitas diri..

Di masyarakat yang multi etnik, ragam kultur, aneka bahasa, macam agama dan keyakinan ini peluang anda untuk terpancing prasangka negatif terhadap orang lain cukup besar. Prasangka negatif ini dalam beberapa hal mungkin hanya memicu kelucuan saja, namun dalam tingkat yang lebih parah bisa memicu perkelahian, pembunuhan massal hingga penghapusan etnik tertentu (genocide).

3. Buku ”Psikologi Prasangka Orang Indonesia”
Buku yang terdiri dari 8 Bab, 206 halaman ini membahas mengenai Prasangka. Meskipun buku ini tidak mengurai lengkap seluruh prasangka yang mungkin diungkap, paling tidak buku ini memenuhi keperluan pembaca yangingin memahami fenomena prasangka.

Mas Ito, nama biasa ia dipanggil oleh mahasiswa, menjelaskan alasan penerbitan buku ini. Buku ini adalah buku yang mencoba merangkum temuan-temuan penelitian dari tugas kuliah, skripsi, tesis dan disertasi tentang prasangka. Di Bab II, dengan cara ngepop mas Ito menguraikan teori dari belahan Barat dan Timur mengenai prasangka.

Di Bab III hingga Bab VII Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono ini berupaya menyajikan fenomena-fenomena prasangka di Indonesia.

Di Bab III Anda akan menemukan beragam teori yang diungkapkan sejumlah peneliti terhadap kasus-kasus prasangka Etnik. Anda akan membaca bagaimana prasangka orang Papua terhadap karyawan Freeport, prasangka etnik dalam perkawinan, dan kerusuhan-kerusuhan yang dipicu oleh prasangka etnik.

Setelah menyusuri Bab IV anda akan senyum dikulum menelusuri bagaimana prasangka terhadap Gender meskipun di bab ini hanya mengutip prasangka terhadap gender perempuan di posisi domestik hingga perempuan di kancah publik, apalagi subjudulnya pun cukup menggelitik dan berprasangka : Dari Ibu Srie ke Ibu Tien.

Di Bab V anda akan temukan bagaimana prasangka juga muncul di kalangan agama atau umat beragama, bahkan Tuhan dipandang sebagai alasan untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan, penghakiman dan pembunuhan oleh sebagian orang.. Anda akan terkesima oleh kutipan seorang yang mengkritik Syiah . Anda akan tercengang oleh cerita seorang Wartawati yang semula mewawancari Jafr Umar Thalib malah kemudian menjadi pengikut setia. Andapun akan galau saat Anda membaca kisah Saefudin , alumni pesantren yang mengajarkan toleransi di Ponorogo Jawa Timur justru terjebak dalam konflik batin menyembunyikan alm. Dr. Azahari dan Noordin M Top.

Di Bab VI yang menguraikan Prasangka Politik dan Agressi anda dapat membaca kisah-kisah kerusuhan yang dipicu oleh prasangka antar umat beragama. Anda seakan diajak kembali menelusuri jejak kasus mulai dari kasus Empok (empat Oktober 1994) Tanjung Priuk hingga berakhir dengan rekonsiliasi dan Kasus kerusuhan Ambon yang juga diwarnai pengguinaan simbol-simbol agama dan kata-kata julukan seperti Obet dan Acan.

Nah Bab VII ini adalah Bab unik. Seperti adegan Goro-Goro pada lakon Wayang Kulit.. , Adegan yang ditampilkannya bisa membuat penonton nyantai sejenak . Ada adegan saru (nyerempet porno), lucu , senyum dan memancing tawa di Bab ini. Setelah anda membaca suasana yang penuh ketegangan, tumpahan darah dan airmata di Bab V dan VI anda akan tersenyum membaca cerita tentang seks, lelucon tentang seks, penelitian tentang seks dan folklore tentang seks. Nama Ma Erot dari Sukabumi pun dimunculkan di bab ini. Bahkan Kartun Jane yang sedang bergelantungan memegang ”akar” Tarzan sehingga Tarzan berteriak ”Auuuuuooooooooo ” pun menghiasi halaman bab ini.

Sarlito Wirawan Sarwono memang bukan cerpenis. Namun demikian membaca buku ini tak ubahnya membaca buku kumpulan cerpen seorang cerpenis. Boleh jadi cerita demi cerita tidak disusun berdasarkan urutan atau sistematika tertentu. Anda mempunyai kebebasan membaca dari bab mana. Mulai dari bab manapun anda membaca , tak masalah. Anda akan dibawa hadir masuk ke dalam suasana cerita, bahkan anda merasa seakan menjadi Sang Tokoh sendiri. Percayalah emosi anda pun akan disentuh oleh kenyataan-kenyataan yang dipaparkan pada setiap bab, Ada emosi geram dan kesal. Ada emosi khawatir sedih dan takut. Ada emosi birahi yang menggelegak. Ada pula emosi tawa dan canda.

Di Bab VIII Mas Ito, yang juga peniup Saxophone The Profesor ini berupaya menutup dengan menduga sejumlah hal yang menjadi akar prasangka di Indonesia. Seperti yang diungkap di awal tulisan ini, Mas Ito pun tetap tidak bebas dari prasangka saat menulis dan menutup buku ini.

Buku yang diterbitkan PT. Raja Grafindo Persada, 2006 ini mungkin akan lebih baik bila editor dari penerbit cukup teliti. Ada penulisan dan penomoran yang mengganggu di halaman 165 yang merupakan bagian dari Tabel 7.7. Di tabel 7.7. ini mengurai Sifon, Budaya Sperma dan Nikah Sirri. Bila dibaca teliti sebenarnya mengupas Sifon, Budaya Sprema, Gunung Kemukus dan Nikah Sirri. Editor harusnya menuliskan c. Gunung Kemukus bukan bagian dari Budaya Sperma, tetapi sebagai sub tersendiri, dengan demikian nomor 8-12 di halaman 165 seharusnya menjadi nomor 1-5 di bawah sub Gunung Kemukus.

Hal lainnya adalah tidak ditemukannya nama Hamdi Muluk dalam daftar Pustaka sebanyak 187 itu padahal nama tersebut diulang-ulang dalam teks.

Buku yang di toko buku Gramedia dijual seharga Rp 33.000 – ini , paling tidak bisa menjadi acuan pendidik, pengajar, trainer, inspirator, motivator, pekerja sosial, kalangan LSM untuk bisa masuk dan meretas prasangka demi kejayaan Indonesia Raya. Masih jauh jalan menuju sana, bisa jadi. Membaca buku ini dan memahaminya minimal menjadi langkah awal menuju ke tujuan luhur itu.

DATA MENGENAI BUKU
Pengarang : Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono
Tebal : 206 halaman
Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada, Rajawali Pers Jakarta
Tahun : 2006
Ukuran : 13,3 X 24,5 cm

Pun Sapun , AmpĆ³n Paralun
Salam hangat dari Ciracas
Asep Haerul Gani

Psikologi Dalam Interaksi Sosial (Persepsi)

Pengertian

· Pengertian interaksi sosial menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok, maupun antara orang perorangan dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi.

· Interaksi sosial tidak selalu ditandai dengan mengadakan kontak muka atau berbicara, tetapi interaksi sosial bisa terjadi manakala masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan misalnya karena bau minyak wangi. Hal itu bisa menimbulkan kesan di dalam fikiran seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya.

· Interkasi yang terjadi antar kelompok-kelompok manusia, misalnya pada tawuran antar pelajar satu sekolah dengan sekolah lain, peperangan antar etnis, pertikaian kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain, pertemuan para senat mahasiswa perguruan tinggi se Indonesia, pertemuan perguruan tinggi dengan pemerintah daerah setempat dll.

· Interaksi yang terjadi antar orang perorangan dengan kelompok, misalnya interaksi dosen dengan mahasiswanya di dalam kelas, interaksi seorang pembicara dalam seminar dengan peserta seminar dll.

Syarat-syarat terjadinya interkasi sosial
Interaksi sosial terjadi setidaknya memenuhi dua syarat :

1. Adanya kontak sosial
Secara fisik kontak sosial bisa berarti sebagai kontak yang terjadi hubungan badaniah; sementara sebagai gejala sosial tidak perlu adanya hubungan badaniah, oleh karena seseorang dapat mengadakan hubungan dengan fihak lain tanpa menyentuhnya. Misalnya seseorang yang berbicara melalui telepon, e-mail, surat, radio dll. Bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan badaniah tidak perlu menjadi syarat adanya kontak. Jadi kontak merupakan tahap pertama terjadinya interaksi sosial. Kontak terjadi misalnya kontak antara suatu pasukan dengan pasukan musuh. Ini berarti bahwa masing-masing pihak telah mengetahui dan sadar akan kedudukan masing-masing dan siap untuk bertempur (yang biasanya disebut kontak bersenjata)

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu :
(1) antara orang perorangan, misalnya apabila anak kecil diajarkan oleh orang tuanya mengenai sopan santun, kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya; dua orang saling berbicara dll.

(2) Antara orang perorangan dengan suatu kelompok atau sebaliknya.
Misalnya ketua partai politik menyuruh para anggota-anggota paartainya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi/program partai

(3) Antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Misalnya dua atau lebih partai politik berkoalisi untuk mengalahkan partai politik yang lain.

Selain itu suatu kontak dapat pula bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, seperti misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan, saling senyum dll. Sebaliknya kontak sekunder memerlukan perantara. Misalnya A berkata kepada B, bahwa C mengagumi kepintarannya bermain catur. A sama sekali tidak bertemu dengan C akan tetapi terjadi kontak antara mereka, karena masing-masing memberi tanggapan, walaupun dengan perantaraan B. Hubungan sekunder misalnya bisa dilakukan juga melalui telepon, radio, e-mail dll. Akan tetapi apabila A meminta tolong kepada B supaya diperkenalkan dengan gadis C, maka kontak tersebut bersifat sekunder tidak langsung.

2. Adanya komunikasi
Komunikasi merupakan proses penyampian pesan dari komunikator (penyampai) pesan) kepada komunikan (penerima pesan). Komunikasi berlangsung apabila seseorang menyampikan suatu stimulus (rangsang) yang kemudian memeproleh arti tertentu yang dijawab (respon) oleh orang lain.

Komunikasi diartikan bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (bisa berupa pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap); dan perasaan-perasaan apa yang ingin disampikan oleh orang tersebut. Orang tersebut kemudian memberikan respon/reaksi terhadap apa yang disampaikan. Misalnya apabila seorang gadis menerima seikat bunga, secara spontan ia akan mencium bunga tersebut; akan tetapi yang menjadi pertanyaan dari gadis tersebut adalah siapa yang mengirim bunga tersebut, dan apa yang menyebabkan dia mengirimkannya. Apakah bunga tersebut dikirimkan sebagai tanda cinta, perhatian, untuk mendamaikan suatu perselisihan, untuk peringatan hari ulang tahun, untuk memenuhi janji, sebagai tanda simpati atas kesehatan seseoraang dll. Apabila gadis tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dia-pun tidak tahu apa yang akan dilakukannya, dan selama itu juga belum terjadi komunikasi.

Dalam komunikasi terjadi pula berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Misalnya seulas senyum bisa ditafsirkan sebagai keramahtamahan, sikap bersahabat. Lirikan bisa ditafsirkan bahwa mungkin orang tersebut tidak senang atau malah sebaliknya menunjukkan ketertarikan.

Dasar Berlangsungnya Interaksi Sosial

Dasar berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor yaitu :

1. Imitasi
Imitasi adalah proses meniru yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial.

2. Sugesti
Sugesti adalah proses mempengaruhi dari seseorang kepada orang lain. Prosesnya akan efektif apabila penerima sugesti dalam kedudukan lebih rendah, dalam keadaan mental yang tidak seimbang, atau apabila pemberi sugesti adalah orang yang lebih berwibawa.

3. Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan untuk menjadi sama dengan orang lain yang menjadi idolanya. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk pada proses ini.

4. Simpati
Simpati merupakan proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Ketertarikan menyebabkan orang cenderung untuk ingin selalu berhubungan.

Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun di dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.

Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), pertentangan (conflict). Secara rinci bentuk-bentuk interaksi sosial adalah sebagai berikut :

1. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama maerupakan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerjasa antara lain : bargaining, cooptation, coation, dan joint venture.

(a) Bargaining adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih

(b) Cooptation adalah suatu penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan baru dalam organisasi atau kehidupan politik

(c) Coalition adalah penggabungan dua organisasi atau lebih untuk mencapai tujuan bersama

(d) Joint venture adalah kerjasama dalam pendirian atau penyelesaian proyek-proyek tertentu.

2. Akomodasi
Akomodasi bisa menunjuk sebagai suatu keadaan atau proses. Akomodasi sebagai suatu proses adalah usaha untuk meredakan suatu pertentangan, dalam mencapai kestabilan. Akomodasi sebagai suatu keadaan adalah apabila antara dua kelompok yang saling bertentangan berhenti tidak bertikai, tetapi masih dalam kondisi bertentangan. Bentuk-bentuk akomodasi antara lain :

(a) Coercion (penggunaan paksaan atau kekerasan)
Adalah suatu akomodasi yang prosesnya dilaksanakan secara paksaan, di mana salah satu pihak menguasai pihak lain.

(b) Compromise (kompromi)
Adalah suatu akomodasi di mana pihak-pihak yang berlawanan saling mengurangi tuntutannya dengan mengadakan kesepakatan-kesepakatan (kompromi)

(c) Arbritation (perwasitan)
Adalah penyelesaian melalui pihak ketiga, apabila masing-masing pihak yang bertentangan tidak mampu menyelesaikan sendiri.

(d) Mediation (mediasi)
Penyelesaian sengketa yang menyerupai arbritation, tetapi pihak ketiga hanya sebagai perantara dan tidak mempunyai kewenangan mengambil prakarsa.

(e) Conciliation (konsiliasi)
Adalah usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih, agar tercapai persetujuan bersama.

(f) Toleration (toleransi)
Toleransi merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan bersama. Misalnya toleransi antarumat beragama di Indonesia, masing-masing umat beragama berusaha menghindarkan diri dari perselisihan.

(g) Stalemate (buntu)
Adalah pihak-pihak yang saling bertentangan karena mempunyai kekuatan seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangan. Misalnya perang dingin anatar Amerika-Rusia di masa lalu karena masalah nuklir

(h) Adjudication (keputusan pengadilan)
Adalah penyelesaian perkara atau sengketa melalui pengadilan.

3. Akulturasi
Membicarakan akulturasi lebih tepat dalam kaitannyan dengan perubahan kebudayaan. Akulturasi terjadi apabila suatui kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu berinteraksi dengan unsur-unsur kebudayaan asing yang dibawa kelompok lain, sehingga lambat laun unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan yang menyerapnya.

4. Asimilasi
Adalah proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan antara kelompok-kelompok yang berbeda tetapi sudah bergaul cukup lama. Asimilasi ideal apabila kebudayaan-kebudayaan dari kelompok yang berbeda berubah saling menyesuaikan diri.

Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi :

1). Adanya toleransi amsing-masing kelompok
2). Kesempatan dalam bidang ekonomi yang seimbang
3). Sikap saling menghargai kebudayaan amsing-masing
4). Sikap terbuka dan mau bekerja sama
5). Adanya unsur-unsur kebudayaan yang mirip atau memiliki persamaan
6). Antara kelompok yang berbeda terjadi perkawinan
7). Adanya musuh bersama dari luar, sehinggaa menodorng masing-masing kelompok untuk bersatu

Faktor-faktor yang mempersulit terjadinya asimilasi :
1). Perbedaan ciri-ciri fisik badaniah
2). Identitas sosial khas yang terus-menerus dipertahankan
3). Dominasi ekonomi oleh kelompok tertentu
4). Terisolasinya kelompok tertentu dalam suatu kawasan, misalnya kelompok dengan tingkat ekonomi lebih baik menghuni suatu kawasan pemukiman khusus (perumahan elit) akan menyulitkan pembaauran dan asimilasi.
5. Persaingan
Persaingan adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok bersaing untuk memperebutkan sesuatu yang jumlahnya terbatas. Persaingan perorangan disebut persaingan pribadi, sedangkan persaingan yang tidak bersifat pribadi merupakan persaingan antar kelompok, misalnya persaingan antara dua perusahaan dalam memperebutkan daerah pemasaran.

6. Pertikaian atau pertentangan
Pertentangan (conflict) adalah usaha menentang pihak lawan dalam mencapai tujuan. Bentuk-bentuk pertentangan antara lain :

1). Pertentangan pribadi
2). Pertentangan rasial
3). Pertentangan antara kelas-kelas sosial
4). Pertentangan politik
5). Pertentangan yang bersifat internasional

Interaksi Sosial dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Dalam mempelajari interaksi sosial digunakan pendekatan tertentu, yang dikenal dengan nama interactionist perspektive. Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama symbolic interactionism (interaksionisme simbolik). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead. Dari kata interaksionisme tampak bahwa sasaran pendekatan ini adalah interaksi sosial; sementara kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.

Simbol menurut Leslie White didefinisikan sebagai “a thing the value or meaning of which is bestowed upon by those who use it”. Jadi simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh seseorang (mereka) yang mempergunakannya. Menurut White makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara instrinsik terdapat di dalam bentuk fisiknya. Makna suatu simbol, menurut White hanya dapat ditangkap melalui cara-cara non sensoris; melalui cara-cara simbolis. Misalnya : makna suatu warna tergantung mereka yang mempergunakannya. Warna merah, misalnya dapat berarti berani (dalam bendera kita merah berarti berani, putih suci); namun dapat pula berarti komunis (kaum merah); dapat pula berarti tempat pelacuran (daerah lampu merah). Warna putih berarti suci; dapat pula berarti berkabung; dapat pula berarti menyerah.

Makna-makna tersebut tidak dapat ditangkap dengan panca indera; sebagaimana dikemukakan oleh White bahwa makna-makna tersebut tidak ada kaitannya dengan sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat pada warna. Hal yang sama misalnya, air atau benda lain yang dianggap suci. Kesucian hewan tertentu (misalnya sapi bagi orang India), atau benda lain (seperti air, patung) tergantung pada makna yang diberikan oleh pihak yang menggunakannya. Jadi kesucian suatu benda tidak ada hubungannya dengan sifat-sifat intrinsik yang melekat pada benda tersebut.

Herbert Blumer salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran Mead mengenai interaksionisme simbolis. Menurut Blumer pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga :

(1) Pertama manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Dengan demikian tindakan (act) seorang penganut agama Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan seseorang penganut agama Islam di Pakistan, karena masing-masing orang tersebut – memiliki makna (meaning) yang berlainan terhadap sapi.

(2) Kedua Blumer mengemukakan bahwa makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Mengapa dalam masyarakat kita warna merah bermakna berani, dan putih suci? Mengapa orang yang ideologinya radikal sering disebut kiri? Makna yang diberikan orang pada konsep-konsep merah, putih, kanan, kiri ini muncul dari interkasi sosial, Keberanian tidak melekat pada warna merah (sebagai telah disebutkan, dalam konteks warna merah dapat pula diartikan sebagai komunisme atau tempat pelacuran) dan pandangan ideologis pun tidak ada kaitannya dengan arah kiri atau kanan.

(3) Ketiga Blumer mengemukakan bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Yang hendak ditekankan Blumer di sini ialah bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu. Apakah seseorang akan menanggapi dengan baik ucapan “selamat pagi” atau assalamualaikum, tergantung pada penafsirannya apakah si pemberi salam tersebut beritikad baik ataukah beritikad buruk.

Definisi Situasi
Konsep lain yang juga penting diperhatikan dalam pembahasan mengenai interkasi sosial ialah konsep definisi situasi (the definitiation of the situation) dari William Isac Thomas (1968). Berbeda dengan pandangan yang mengatakan bahwa interkasi manusia merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus), maka menurut Thomas seseorang tidak segera memberikan reaksi manakala ia mendapat rangsangan dari luar. Menurutnya tindakan seseorang selalu didahului suatu tahap penilaian dan pertimbangan; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang dinamakannya definisi atau penafsiran situasi. Dalam proses ini orang yang bersangkutan memberi makna pada rangsangan yang diterimanya itu. Misalnya dalam proses ini orang yang memberi salam, maka rangsangan yang berupa ucapan “selamat pagi” diseleksi dan diberi makna. Bila menurut definisi situasi seorang gadis ucapan “selamat pagi” dari seorang pria yang belum dikenalnya tidak dilandasi itikad baik, ia akan cenderung memberikan reaksi berupa tindakan yang sesuai dengan penafsirannya-misalnya mengabaikan salam tersebut.

Dalam kaitannya dengan definisi situasi ini, Thomas terkenal karena ungakpannya : “when men define situations as real, they are real in the consequnces” – bila orang mendefinisikan situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang dimaksudkannya di sini ialah bahwa definisi situasi yang dibuat orang akan membawa konskeunsi nyata.

Thomas membedakan antara dua macam definisi situasi : definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (definisi situasi yang mengatur interaksi manusia). Definisi situasi dibuat oleh masyarakat – keluarga, teman, komunitas. Thomas melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut. Menurutnya moralitas yang berwujud aturan atau hukum muncul untuk mengatur kepentingan pribadi agar tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

Analisis Psikologi Komunikasi Novel Tuhan.... Pelacur!
:nur melati septiana

Nidah Kirani adalah seorang gadis muslimah yang taat beribadah. Badannya dihijabi oleh jubah dan jilbab yang besar. Hampir semua kegiatan sehari-harinya diisi dengan aktivitas pendekatan pada Tuhan dan menjalankan perintahNya sebagaimana cara yang diajarkan Rasullullah, setiap waktu dia habiskan untuk shalat, baca Al-Qur’an dan berzikir. Ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam tentang keislaman melalui diskusi tentang Islam mendorongnya untuk membentuk suatu forum kajian yang membahas masalah-masalah keislaman, dan keinginannya ini didukung oleh Dewan Mahasiswa Kampus Barek yang memberikan kepercayaan pada Kiran untuk menjalankan forum ini.

Dari forum inilah dia didekati seorang ikhwan (sebutan untuk laki-laki muslim aktivis islam) bernama Dahiri. Keaktifan dan kekayaan referensi Dahiri dalam membahas tiap topik yang diangkat dalam forum diskusi ini menyita perhatian Kiran. Sehingga waktu diskusi mereka bukan hanya berada pada saat forum berjalan tetapi juga diluar forum karena Dahiri juga merupakan teman sekelas Kiran di Kampus Barek. Ternyata Dahiri merupakan aktivis jamaah yang merupakan gerakan yang subversif, organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang diidealkan bisa mengantarkan pengikutnya ber-Islam secara kaffah. Dan dia memang mengincar Kiran yang dia ketahui sedang semangat-semangatnya untuk memperdalam keimanannya dan mencari kedamaian dalam aktifitas keislaman yang baru dibangunnya, seperti seorang muallaf yang baru menikmati dan merasakan kenyamanan Islam. Selalu ingin berada pada komunitas yang bisa membawanya mengetahui lebih banyak tentang islam.

Berbekal dengan kemampuannya dalam berargumen dan penguasaan terhadap ayat-ayat Qur’an serta Hadits, Dahiri berhasil mempengaruhi pikiran Kiran. Sehingga Kiran yang tadinya meyakini pengetahuannya tentang Islam sudah cukup baik berubah menjadi pemikiran betapa masih dangkalnya dia dalam mempelajari Islam. Sosok Dahiri berhasil membuatnya menjadi gelisah dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan organisasi islam garis keras itu.

Setelah melakukan proses baiat (pengucapan sumpah untuk bergabung pada organisasi jamiah), Kiran benar-benar menjalani kehidupan sebagai sufi, yang demi kezuhudannya dia melakukan shaum (puasa) setiap hari, tidak lagi mengkonsumsi nasi dan daging tetapi hanya mengkonsumsi roti ala kadarnya. Tiap waktunya dimanfaatkan untuk menegakkan syariat Islam dan dakwah pun dia jalankan dengan keyakinan untuk menyelamatkan sesama muslim berislam secara benar. Tiap waktu dia mencoba mempengaruhi orang-orang yang ada disekitarnya untuk berhijrah dari paham agama lamanya. Tetapi tidak jarang aktifitasnya ini juga mendapat penolakan dan membuat dirinya dikucilkan oleh orang-orang di pondokkannya tempat dia selama ini tinggal. Karena merasa gerakannya tidak disukai, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan pondokan itu dan memilih tinggal di Pos Jemaah yang terletak di sekitar kampusnya. Tadinya Kiran membayangkan dengan tinggal di Pos ini, ritual keagamaannya menjadi lebih dalam tetapi pemikiran itu bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya.

Satu-satunya ibadah yang dilihatnya adalah cuma shalat berjamaah, selebihnya ibadah yang dilakukan para aktivis di Pos itu terlihat biasa. Bahkan ritual ibadah di Pondokan Ki Ageng, tempat dia tinggal sebelumnya lebih khusyuk dibandingkan di Pos ini. Tetapi Kiran tidak ambil pusing, dia tetap dengan keyakinannya bahwa dia harus meneggakkan hukum Islam dengan mengabdikan dirinya di jalan Allah. Dakwah terus dilancarkannya dan dia berhasil merekrut orang banyak termasuk orangtua, keluarga dan masyarakat desanya. Bukan hanya merekrut orang, setiap minggunya dia juga harus memberikan infak sebesar 500 ribu rupiah yang katanya digunakan untuk biaya perjuangan menegakkan Syariat Islam. Tidak jarang untuk itu, Kiran harus berbohong pada orangtua dan kakaknya yang berada di luar negeri dengan dalih membayar keperluan kuliahnya.

Tetapi ditengah jalan, Kiran diterpa badai kekecewaan. Pergerakan yang selama ini dia tempuh dan sudah banyak resiko yang dia terima, dari dikucilkan oleh para santri di pondokannya dulu, biaya yang dia keluarkan untuk infak yang tidak sedikit sampai diusirnya dia dari desa tempat tinggalnya tetapi dia nilai tidak dianggap oleh aktifis lainnya. Akal sehatnya mulai mencerna, organisasi yang dia ikuti ternyata tidak mempunyai kegiatan yang jelas, uang infak itu juga tidak jelas kemana digunakan hingga membuat Kiran berontak dan berusaha keluar dari organisasi meskipun taruhannya adalah nyawa. Karena organisasi ini berjalan secara rahasia dan terus diburu oleh pemerintah, sehingga aktifis yang ada disini bila berkhianat diancam akan dibunuh.
Begitu besarnya kekecewaan Kiran, hingga merampas nalar kritis sekaligus keimanannya. Dia selalu mempertanyakan untuk apa yang Tuhan balas untuk segala pengorbanan yang telah dia lakukan demi penghambaannya kepada Tuhannya. Dan akhirnya dia menalar bahwa Tuhan yang selama ini dia agung-agungkan seperti lari dari tanggung jawab dan tidak menghiraukan keluhannya.

Dalam keadaan frustasi dan kekosongan, dia menemui Daarul Rachim seorang Ketua Forum Studi Mahasiswa Kiri Untuk Demokrasi. Melalui Daarul dia mengeluarkan semua beban dan rasa sakit hatinya. Berawal dari situ, hubungan mereka makin akrab dan Kiran memandang sosok Daarul sebagai pahlawannya yang tiap saat bisa melindunginya dari rasa takut akan dibunuh. Tetapi kedekatan itu akhirnya memulai suatu babak baru, Kiran seorang muslimah yang taat harus menggadaikan keimanannya dengan melepaskan keperawanannya karena tidak kuat menahan rasa cinta yang mulai tumbuh pada laki-laki yang melindunginya ini dan sebagai wujud pemberontakannya pada Tuhannya. Kesalahpahaman membuat hubungan mereka merenggang dan akhirnya putus, hal ini membuat Kiran makin frustasi dan kembali menyalahkan Tuhannya. Dalam frustasinya itu, akhirnya dia terjerembab dalam dunia hitam.

Kekecewaannya dilampiaskan dengan melanggar aturan-aturan agamanya, freesex dengan pria-pria aktivis sayap kiri dan kanan (islam) yang selama ini dikenal sebagai aktivis kampus yang lantang meneriakkan tegaknya moralitas dan syariah islam. Membongkar topeng kemunafikkan tiap aktivis tersebut membuatnya puas sebagai bentuk pemberontakannya pada Tuhan. Tidak ada rasa sesal yang setiap kali usai melakukan petualangan cinta. Bahkan salah satu korbannya adalah seorang Dosen Kampus Matahari Terbit Yogyakarta yang juga merupakan anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memperjuangkan tegaknya syariat islam di Indonesia. Dan Dosen ini jugalah yang akhirnya menjadikan dirinya memiliki profesi yang selama ini dihujat orang banyak, menjadi seorang pelacur.

ANALISIS CERITA
Dalam novel yang berjudul “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur”, merupakan cerita yang menggambarkan luka seorang muslimah yang tadinya taat beribadah, tetapi karena salah langkah memilih jalan yang dia anggap akan membawa dirinya makin dekat dengan Tuhannya dan memiliki harapan yang sangat besar sehingga banyak pengorbanan yang dia lakukan, ketika harapan besar itu bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya menjadikan Nidah Kirani, tokoh utama cerita ini menjadi frustasi dan akhirnya terjerembab dalam dunia hitam dengan melanggar aturan-aturan agamanya dari freesex sampai mengkonsumsi obat terlarang. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk kekecewaan dan bentuk pemberontakan kepada Tuhannya, yang dia anggap tidak pernah perduli dengan dirinya sedangkan dia telah banyak melakukan pembuktian sebagai wujud pengabdiannya pada Tuhan.

Pada alur cerita ini, ada 1 tokoh utama lain yang mempengaruhi jalan pemikiran Kiran yaitu sosok Dahiri, seorang mahasiswa yang juga aktivis organisasi islam garis keras. Dahiri inilah yang berhasil mengajak Kiran untuk menjadi aktivis jamiah dan menjanjikan Kiran akan menemukan ketenteraman dan kedamaian berjihad dijalan Allah.

1. HUBUNGAN INTERPERSONAL TOKOH UTAMA
Menurut De Vito ada 5 tahap hubungan antar pribadi kalau kita akan melakukan hubungan dengan orang lain, yaitu tahap kontak, keterlibatan, keakraban, pengrusakan dan pemutusan. Keterlibatan Kiran dalam organisasi islam garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat islam di Indonesia berawal dari pendekatan komunikasi persuasif yang dilakukan oleh Dahiri pada Kiran. Lebih jelasnya secara teoritis dapat dijelaskan melalui Kontak Bagan tahap tahap hubungan interpersonal menurut DeVito :
Berdasarkan apa yang dialami oleh Kiran, kontak pertama dengan Dahiri berawal dari forum diskusi islam yang akhirnya melakukan pembentukan Hubungan Interpersonal.

Tahap ini sering disebut juga sebagai tahap perkenalan (Acquaintance Process). Steve Duck (1976;127) dalam Rahmat (2001) menyatakan perkenalan adalah proses komunikasi dimana individu mengirimkan (secara sadar) atau menyampaikan (kadang kadang tidak sengaja) informasi tentang struktur isi kepribadiannya kepada bakal sahabatnya, dengan menggunakan cara-cara yang agak berbeda, pada bermacam-macam perkembangan persahabatan. Dahiri merupakan anggota yang aktif mengikuti forum diskusi yang dikelola Kiran, sehingga dari sinilah Kiran lebih mengenal sosok seorang Dahiri yang tadinya hanya dikenalnya sebagai teman sekelas dan menimbulkan penilaian yang positif yaitu Dahiri merupakan pria yang cerdas, pintar berargumen dan memiliki wawasan yang luas tentang islam.

Dengan data diri Dahiri tersebut, Kiran berusaha membentuk kesan tentang diri Dahiri. Kesan pertama amat menentukan, karena itu hal-hal yang pertama kelihatan merupakan hal yang menentukan kesan pertama menjadi sangat penting. Brooks dan Emmerts (1976,24) mengatakan para psikolog sosial menemukan bahwa penampilan fisik, apa yang diucapkan pertama, apa yang dilakukan pertama menjadi penentu yang penting terhadap pembentukan citra orang lain.

Oleh karena itu Dahiri berhasil menjaga kesan pertamanya, Dahiri dapat menunjukkan pada Kiran yang menjadi target sasarannya bahwa ia serius mengajak Kiran untuk memahami islam secara benar. Untuk membantu memudahkan pengaruh pada Kiran, Dahiri memulainya dengan ikut aktif dalam forum diskusi yang dikelola oleh Kiran, dari sinilah Kiran dapat mengenal kepribadiannya dan Dahiri mengetahui apa yang menjadi kebutuhan Kiran.

Selanjutnya setelah Kiran memperoleh kesan pertama yang positif terhadap Dahiri, maka tahap selanjutnya adalah menuju pada tahap keterlibatan. Pada tahap ini Dahiri mengembangkan sikap-sikap yang memudahkan penerimaan terhadap kehadiran Dahiri. Selain sikap faktor lain yang juga menentukan adalah atraksi interpersonal yang dilakukan oleh Dahiri. Oleh karena itu Dahiri berhasil mengembangkan Atraksi Interpersonalnya, karena Atraksi Interpersonal adalah daya tarik personal yang timbul dalam hubungan Interpersonal. Makin tertarik kita kepada seseorang, maka besar kecendrungan kita berkomunikasi dengan dia. Ada dua faktor yang mempengaruhi Atraksi interpersonal yaitu Faktor personal dan faktor situasional.

Faktor Personal yang telah dikembangkan oleh Dahiri hingga kehadirannya mudah diterima oleh Kiran adalah :

1. Kesamaan Karakteristik Personal (Similarity).
Dalam situasi dimana seseorang harus berinteraksi dengan semua golongan dalam masyarakat yang berbeda maka timbul kecendrungan dalam dirinya untuk memilih orang yang memiliki banyak persamaan dengan dirinya (Depari dan Andrews; 1988). Sikap ini disebut dengan homofilis. Komunikasi yang efektif lebih mudah dicapai apabila baik sumber informasi maupun penerima informasi sama sama homofilis.

Sebagai seseorang yang berusaha masuk untuk mempengaruhi orang, maka Dahiri berusaha mencari kesamaan yang ada pada Kiran dengan yang ada dalam dirinya. Dari kesamaan-kesamaan ini maka keberadaan Dahiri akan lebih mudah diterima oleh Kiran. Orang yang memiliki kesamaan dalam nilai,sikap,keyakinan,tingkat, sosial ekonomi,agama,ideologis,cenderung saling menyukai. Menurut Heider dalam buku Psikologi komunikasi (Jalaludin Rakhmat;2004), “ Kita cenderung menyukai orang, kita ingin mereka memiliki sikap yang sama dengan kita. Kita ingin memiliki sikap yang sama dengan orang yang kita sukai, supaya seluruh unsur konsisten”.

Dahiri telah dapat memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya, karena Dahiri mempunyai kelebihan dapat berbicara dengan lugas dan memiliki pengetahuan yang luas tentang islam bahkan dia hapal dengan ayat-ayat Qur’an yang menjadi modalnya untuk berargumen pada tiap diskusi tentang islam. Sebagai muslimah, Kiran mempunyai kesamaan dengan Dahiri yaitu tertarik dengan ilmu-ilmu dan jalan hukum-hukum islam. Mereka memiliki latar belakang budaya yang sama yaitu hidup dengan sendi-sendi islam. Kesamaan karakteristik inilah yang merupakan modal dasar bagi Dahiri untuk masuk kedalam lingkungan kehidupan Kiran yang harus direkrutnya. Faktor lain yang turut mendukung mudahnya Dahiri kedalam lingkungan kehidupan Kiran adalah faktor kesamaan bahasa yang dimiliki Dahiri. Kesamaan bahasa ini akan memudahkan dalam melakukan komunikasi serta memudahkan dalam mencapai pengertian bersama dibandingkan dengan orang-orang yang memakai bahasa yang berbeda.

Pada alur cerita ini, kontak khusus antara kedua tokoh utama berawal diluar forum diskusi. Dialog pada halaman 33 dimana Dahiri berusaha mendekati Kiran yang sedang berada sendirian diperpustakaan. Tatapan tajam Dahiri direspon oleh Kiran dengan menyapanya “Dahir, gimana kabarmu. Ada tugas?” kemudian Dahiri menjawab “Bukan soal tugas Kiran, tapi soal Islam yang kita bahas minggu lalu.”

2. Tekanan Emosional (Stres)
Bila orang berada dalam keadaan cemas atau harus memikul tekanan emosional, maka ia akan menginginkan kehadiran orang lain. Sebagai aktifis yang berusaha merekrut anggota baru Dahiri pandai membaca situasi dan kondisi dilingkungannya. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mencari orang-orang yang berada dalam kecemasan, kesusahan atau berada dalam tekanan emosional. Dengan bersikap ingin menolong Kiran agar menjadi muslimah secara kaffah akan melihat niat baik dari Dahiri pada Kiran. Kiran memikirkan semua perkataan Dahiri tentang islam dalam konteks yang sebenarnya sehingga akhirnya memunculkan keraguan pada diri Kiran apakah saat ini dia belum menjalankan syariat islam secara benar, keraguan inilah yang secara perlahan membuat keberadaan Dahiri diterima dan lebih dekat dengan Kiran.

3. Harga diri yang rendah
Menurut Webster, bila harga diri direndahkan, hasrat afiliasi (bergabung dengan orang lain) bertambah, ia makin responsif untuk menerima orang lain. Ditambahkan oleh Tubbs dan Moss; 1974, Orang yang rendah diri cenderung mudah untuk mencintai orang lain. Dahiri adalah seorang aktifis organisasi keislaman, jelas ia dipandang lebih tinggi dan lebih baik oleh Kiran. Harga diri Kiran mungkin lebih rendah dari Dahiri. Dengan memandang Dahiri sebagai orang yang lebih baik dari Kiran, Kiran tertarik untuk mencari tahu dan menemukan jalan agar dia bisa lebih baik lagi.

4. Isolasi Diri
Eliot Aronson, seorang ahli yang mengembangkan Gain-loss Theory (teori untung rugi) mengatakan bahwa orang yang kesukaannya kepada kita bertambah akan lebih kita senangi daripada orang-orang yang kesukaannya pada kita tidak berubah. Dengan demikian bagi orang yang terisolasi akan lebih menyenangi kedatangan orang dari luar, apalagi orang tersebut dapat memberikan ganjaran yang menguntungkan mereka.. Nidah Kirani yang baru menemukan kedamaian berada pada jalan islam adalah orang yang secara psikologis mempunyai kekurangan dan keterbatasan pada ilmu keislaman dan ada kecenderungan mengisolasikan dirinya. Dengan keberadaan Dahiri sebagai orang dari luar lingkungannya akan memudahkan Dahiri untuk menjalankan misinya, karena adanya kecendrungan menyenangi kedatangan orang dari luar.

Disamping faktor personal , faktor lain yang juga mempengaruhi atraksi Interpersonal adalah faktor situasional. Faktor situasional tersebut adalah :

1. Daya Tarik Fisik (Phisical Attractiveness).
Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa daya tarik fisik sering menjadi penyebab utama Atraksi interpersonal. Sebagai orang yang terlibat dengan masyarakat (orang banyak) maka penampilan Dahiri juga terjaga. Kelebihan yang dimiliki oleh Dahiri seperti pintar, tampan dan lain sebagainya dimanfaatkan untuk memudahkan hubungan dengan Kiran yang menjadi target sasarannya. Penampilan fisik pada diri Dahiri dapat dimanfaatkan untuk membuat persepsi orang berubah dari belum bisa menerima menjadi bisa diterima oleh Kiran.

2. Ganjaran
Kita akan cenderung menyenangi orang yang memberikan ganjaran kepada kita. Ganjaran itu berupa bantuan, dorongan moril, pujian atau hal-hal yang dapat meningkatkan harga diri. Selain itu juga merupakan sifat alami manusia yang senang mendapat pujian dan hadiah. Untuk lebih memudahkan Dahiri membina hubungan dengan Kiran maka Dahiri selalu berusaha memberikan ganjaran kepada Kiran. Ganjaran yang dimaksudkan disini berupa bantuan, dorongan moril, pujian dan lain sebagainya yang dapat memberikan keuntungan bagi Kiran. Pada cerita ini terdapat pada saat Kiran diliputi keraguan dan akhirnya meminta penjelasan pada Dahiri. Hal ini sesuai pula dengan teori pertukaran sosial (Social Exchange Theory), bahwa interaksi sosial adalah semacam transaski dagang. Interaksi akan timbul bila memberikan keuntungan bagi salah satu atau kedua belah pihak.

3. Familiarity
Dengan semakin sering dan banyak melakukan pertemuan dan bimbingan kepada Kiran, maka Dahiri akan semakin dikenal oleh Kiran. Semakin akrab Dahiri dengan Kiran makin memudahkan untuk mempengaruhi Kiran agar merubah paham keislamannya. Menurut Zajonc (1968), ia akan menemukan makin sering subjek melihat wajah tertentu, maka ia makin menyukainya.

4. Kedekatan (Proximity)
Jarak fisik merupakan faktor penting pada tahap awal interaksi. Orang cenderung menyenangi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan. Persahabatan lebih mudah timbul diantara tetangga yang berdekatan. Tindakan yang telah dilakukan Dahiri adalah melakukan pendekatan dengan mengikuti forum yang dikelola Kiran. Karena faktor kedekatan inilah yang akhirnya sangat mempengaruhi keberhasilan misi yang dijalankan oleh Dahiri.

5. Kemampuan (Competence)
Kita cenderung menyenangi orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari pada kita. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa orang orang mempunyai kemampuan biasanya lebih berhasil kehidupanya. Dahiri dapat menunjukkan kemampuannya agar ia disenangi oleh Kiran, targetnya. Sebagai orang yang memberikan informasi dan inovasi maka ia harus mempunyai kredibilitas. Faktor faktor mempengaruhi Dahiri dalam menciptakan kredibilitasnya sebagai nara sumber adalah :Trust (kepercayaan dan pengaruh karena karismatik), Expertise (keahlian, keilmuan, tingkat pendidikan), Autority (kekuasaan, kedudukan), Performance( penampilan fisik, Socio economic Status (status sosial ekonomi), Experience (pengalaman), dan style of influence (gaya yang sesuai dengan keinginan user). Hal lain yang dibuktikan oleh Dahiri adalah karena ia telah dipercaya oleh anggota organisasi islam sebagai orang yang berkompeten mempengaruhi orang lain untuk merubah paham keislamannya, ia merupakan orang yang telah dipercaya oleh anggota organisasi.

Setelah Dahiri dapat diterima oleh Kiran, Dahiri telah mengusahakan agar komunikasi yang dilakukan dengan Kiran menjadi efektif. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang semakin baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi bila isi pesan kita fahami – tetapi hubungan antar komunikan menjadi rusak. “ Komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling penting. Setiap kali kita melakukan komunikasi, kita bukan hanya menyampaikan pesan; kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal, bukan hanya menentukan content tetapi juga relationship.

Dalam kaitannya dengan membina hubungan interpersonal ini, seorang Psikolog Arnold Goldstein (1975) menghubungkan apa yang disebut sebagai “relationship enchancement” (metode peningkatan hubungan) dalam psikoterapi, ia merumuskan metode ini dengan tiga prinsip : makin baik hubungan interpersonal (1) makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya, (2) makin cenderung ia meneliti peranannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog), dan (3) makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasehat yang diberikan penolongnya.

Dari segi psikologi komunikasi, kita dapat menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya. Sehingga makin efektif komunikasi diantara mereka. Dalam kasus ini, maka semakin efektif komunikasi yang dilakukan oleh Dahiri, maka semakin terbina hubungan yang baik antara Dahiri dengan Kiran. Dengan diterimanya kehadiran Dahiri tersebut, maka Dahiri dapat berperan sekaligus sebagai “teman” atau “sahabat” bagi Kiran.

Hubungan Interpersonal Dalam Model Permainan
Model ini berasal dari psikiater Eric Berne (dalam Jalaludin Rakhmat, 2001), dimana dalam model ini orang-orang berhubungan dalam bermacam-macam permainan. Mendasari permainan ini adalah tiga bagian kepribadian manusia – Orang tua, Orang dewasa dan anak. Orang tua adalah aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang kita terima dari orang tua kita atau orang yang kita anggap orang tua kita. Orang Dewasa adalah bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional, sesuai dengan situasi, dan biasanya berkenaan dengan maslah-masalah penting yang memerlukan pengambilan keputusan secara sadar. Anak adalah unsur kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak dan mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreatifitas dan kesenangan.

Pada alur cerita novel ini, menampilkan salah satu aspek tersebut. Yaitu pada saat Kiran mulai membutuhkan kajian tentang pemahamannya terhadap islam yang sesungguhnya, kemudian dia berusaha mencari informasi yang dapat membantunya menjawab keyakinannya itu. Kebutuhan Kiran tersebut merupakan kepribadian anak yang mengandung potensi spontanitas dan kretaifitas. Dahiri menyadari kebutuhan Kiran dan dia membantu Kiran dengan menanamkan ideologi yang dianggap benar untuk membawa Kiran dalam kedamaian yang dicarinya, ini merupakan kepribadian orang tua. Dan hubungan interpersonal Kiran dan Dahiri berlangsung baik dengan transaksi yang bersifat komplementer.

Kiran yang tidak pandai bergaul memilih Dahiri yang mempunyai kelebihan dapat berargumen dan pemikiran yang keras tentang syariah islam. Ia ingin langkahnya berada pada jalur pemahaman yang benar tentang islam. Dengan cara ini Kiran dapat memperoleh keuntungan. Pertama Kiran mencari dalih dengan ketidakmampuannya “jika bukan karena kamu, pasti banyak kawan yang mau dekat dengan aku”. Kedua, ia menimbulkan perasaan bersalah pada Dahiri, sehingga Dahiri akan terus membimbingnya.


2. PESAN LINGUISTIK
Menurut Mulyana (2004), Bahasa terikat oleh konteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut Hipotesis Sapir Whorf, sering juga disebut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan pemakainya. Jadi bahasa sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan dan alam semesta dengan cara yang berbeda sehingga berperilaku berbeda.

Bahasa memungkinkan kita menyandi peristiwa dan obyek obyek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa kita mengabstraksikan pengalaman kita dan mengkomunikasikannya dengan orang lain. Bahasa merupakan sistem lambang tak terbatas, yang mampu mengungkapkan segala macam pemikiran. Bahasa adalah prasyarat kebudayaan yang tidak dapat tegak tanpa itu atau dengan sistem lambang yang lain. (Jalaludin Rakhmat; 2004)

Bahasa memiliki kekuatan untuk mengubah pendapat, keyakinan yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu, menimbulkan perasaan tertentu, bahkan mengendalikan diri.

Kata sebagai bagian dari bahasa mengandung dua aspek yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi atau makna. Makna kata adalah hubungan antara bentuk dengan hal atau benda yang diwakilinya (referent).

Adanya fenomena yang timbul dimasyarakat mengenai penggunaan kata kata kiasan dan peribahasa didalam kehidupan sehari hari adalah karena masih adanya norma-norma dan budaya yang masih dijunjung tinggi didalam pergaulan dimasyarakat. Percakapan yang digunakan sehari hari terutama kepada orang yang lebih dihormati biasanya menggunakan bahasa, kata-kata dan kalimat yang sopan, halus dan baik. Begitu juga untuk mengungkapkan perasaan senang dan tidak senang kepada seseorang juga menggunakan bahasa yang mencerminkan perasaannya. Kata-kata yang diungkapkan dalam percakapan seseorang menunjukkan apa yang ada dalam pikirannya dan biasanya ucapan akan diikuti dengan tindakan. Contohnya bila seseorang mengatakan mau makan biasanya diikuti dengan tindakan makan, mau mandi diikuti dengan tindakan mandi dan lain sebagainya.

Seperti penggalan dialog yang terdapat pada halaman 38-39 alur cerita novel ini antara Dahiri dan Kiran pada saat Kiran meminta penjelasan tentang pemahaman islam Dahiri yang menyebutkan islam di Indonesia belum sempurna dan berbalik pada ajaran islam yang sesungguhnya.

Dahiri: “Kuulangi sekali lagi padamu bahwa keislaman kita di Indonesia belum ada apa-apanya, belum murni. Kita masih pada fase Mekkah. Islam yang sah adalah Islam fase Madinah. Dan sekarang Islam di Madinah itu belum juga ada dan masih dalam taraf di usahakan. Islam di Madinah adalah Islam Negara. Daulah. Keabsahan beragama dan tegaknya syariat tadi ditentukan oleh apakah kita memiliki daulah atau tidak. Dan kami punya rencana besar untuk mengusahakan berdirinya Daulah Islamiyah Indonesia”.

Kiran : “Hah, mendirikan Daulah? Daulah seperti apa itu, Mas?”

Dahiri : “Belum saatnya. Nanti juga akan kamu tahu. Tapi kutekankan padamu, ini adalah gerakan rahasia. Top Secret. Yang poko sekarang adalah kalau ada keraguan, jangan kembalikan pada manusia tapi pada Allah. Kalau bertanya, janganlah tanya pada orang lain, tapi tanya pada saya”.

Kiran : “Iya Mas”

Dari percakapan tersebut bisa kita lihat kata-kata kiasan yang dipergunakan oleh masing-masing orang mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan mengungkapkan perasaannya. Dahiri menggunakan bahasa yang halus tapi tegas dan Kiran menggunakan bahasa yang menandakan kebingungannya.

Makna muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal) dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran. “Hah, mendirikan Daulah. Daulah seperti apa” adalah salah satu contoh kalimat dimana makna tidak melekat pada kata-kata tapi kata-kata yang memberikan makna dalam pikiran. Daulah merupakan conth kata yang berarti negara Islam yang disepakati makananya oleh para aktifis islam garis keras.

Makna dari kalimat diatas bisa diartikan karena adanya kesepakatan antar sekelompok orang untuk memberikan arti atau makna yang sama. Kata-kata seperti yang kita ketahui diberi arti secara arbitrer (semaunya) oleh kelompok -kelompok sosial.

Kata hanyalah simbol verbal dari suatu obyek yang diwakilinya. Jadi kata bukanlah sesuatu atau benda , karena dalam definisi disebutkan symbol adalah sesuatu yang digunakan untuk atau dipandang sebagai wakil sesuatu lainnya. Kata tidak hanya mempresentasikan obyek atau benda, tetapi juga peristiwa atau kejadian, sifat sesuatu benda atau obyek, aksi atau tindakan, hubungan, konsep dan sebagainya .


DAFTAR PUSTAKA
Berlo, SA,S.J. beebe dan MV. Redmond, 1988. Interpersonal Communication, Relating to Others, Allyn and Bacon. Boston. USA.
Dahlan, Muhidin M. 2005. Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Memoar Luka Seorang Muslimah. Scriptamanent. Yogyakarta.
Depari, E dan macAndrews, C, 1988, Peranan komunikasi Massa dalam Pembangunan, Suatu Kumpulan Karangan, UGM.
Devito, J.A, 1997. Komunikasi Antar Manusia, Kuliah dasar, Edisi ke 5. Profesional Books. Jakarta.
Liliweri, alo, 1994, Perspektif teoritis, komunikasi Antar Pribadi, Suatu Pendekatan ke Arah psikologi Sosial Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Little John, stephen W, 1996, Theories Of Human Communication, Fifth Edition, Wadsworth Publishing Company, California USA.
Mulyana, D, 2004, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, edisi ke 6, Rosdakarya, Bandung.
Rakhmat, J, 2004, Psikologi Komunikasi, Edisi ke 21, rosdakarya bandung.
Sereno, Kenneth. K dan Bodaken Edward. M, 1975. Trans-Per Understanding Human Communication, Houghton Mifflin Company. Boston.
Tubbs, SL dan S. Moss, 1983, Human Communication, Fourth Edition. Random House Inc .New York.

* PS: Bahan Kuliah Psikologi Komunikasi, 2006.

Psikologi Da Perkembangan Moral

Perkembangan Moral


Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:

1. Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas

Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.

2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :

Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.

Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:

Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.

Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.

Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gegasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana.Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, : (1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan; (1) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan timbal balik). Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas.

Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah.

Selanjutnya penelitian lintas budaya yang dilakukan di Turki, Israel, Kanada, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan Meksiko memberikan kesan kuat bahwa urutan tahap yang tetap dan tidak dapat dibalik itu juga bersifat universal, yakni berlaku untuk semua orang dalam periode historis atau kebudayaan apa pun.

Menurut Kohlberg penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak setiap individu akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas saja, yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan angka inipun masih diragukan kemudian. Diakuinya pula bahwa untuk sementara waktu orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebut sebagai “regresi fungsional”. Nah, dimana tingkatan moral anda? (jp)

Perkembangan Moral

Oleh: Zainun Mu'tadin, SPsi., MSi.


Kebebasan, Conditio Sine Quanon Moralitas

Oleh: Sukasah Syahdan
Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Vol. II, Edisi 31, Tanggal 26 Mei 2008
alt textKebebasan; (Sumber: unknown)

Mana yang moral mana yang tidak di masyarakat dapat menjadi sesuatu yang bergerak, dapat menjadi dinamis, tidak selalu statis. Stephen Pinker saat menulis tentang hal ini menyinggung tentang tombol moralitas dalam diri manusia. Katanya kalau tombol ini sedang aktif, maka seluruh sistem penilaian rasional kita diambilalih secara drastis. Pertanyaan yang tidak ia jawab adalah: can we reason with morality?

Tulisan ini menjawab: ya. Tidak terlalu sulit membayangkan bahwa apa yang moral tidak jarang berlandas pada sesuatu yang rasional, ilmiah bahkan. Dalam contoh Pinker, isu merokok yang kini dianggap terbuktikan berbahaya juga bagi orang lain, kini cenderung berubah dari isu kesehatan menjadi moral. Atau pelacur cenderung mendapat “pemaafan” kolektif ketika eufimisme “pekerja seksual” diperkenalkan. Tombol moralitas yang disebutnya tidak lain seperangkat alat, kalau boleh disebut demikian, atau semacam shortcut yang telah kita ketahui, lewat pembelajaran/pengalaman, sebagai means dalam menentukan tujuan tertentu, untuk digunakan pada suatu titik waktu tertentu dan dalam konteks dan latar yang tertentu.

Pertanyaan yang amat penting adalah who should reason for our morality? Ini tidak ditanyakannya, sebab memang di luar pembahasan sang psikolog di atas. Dan hal ini saya jadikan pokok pembahasan yang akan saya coba lalukan dalam tulisan singkat ini.

Siapakah yang harus menentukan moralitas kita? Siapa yang harus menentukan yang baik dan buruk? Apakah diperlukan faktor eksternal untuk itu, sebagai juri paling tidak?

Salah satu keberatan orang terhadap perekonomian pasar erat terkait dengan isu baik-buruk ini. Orang yang cukup cermat akan menyimpulkan bahwa perekonomian pasar semata merupakan himpunan aneka hasil valuasi/penilaian individu. Yang lebih cermat lagi akan menyimpulkan: kalau sebagian dari himpunan ini ternyata tidak menyenangkan, maka kesalahannya terletak pada proses penilaian individu-individu tersebut, bukan pada sistem perekonomian.

Kalau argumennya stop di sini, tidak ada masalah konseptual. Namun, kalau si cermat dan si lebih cermat tadi lalu menarik implikasinya terlalu jauh dengan mengatakan bahwa justru di sinilah diperlukannya intervensi pemerintah, maka kegegabahannya dalam menalar harus dikatakan telah menindih segala cikal kecermatannya barusan.

Bahwa intervensi pemerintah diperlukan untuk memperbaiki ekses pilihan individu sering pula dianggap sebagai bukti kegagalan pasar. Dan kegagalan pasar dipercaya harus dikoreksi pemerintah. Dasarnya, dalam konteks kita sekarang, adalah immoralitas yang muncul akibat unbridled market mechanism, atau mekanisme pasar yang tidak dikekang, yang ditentang oleh sejumlah besar penulis dan pemikir besar, termasuk bahkan filsuf liberal semacam Isaiah Berlin.

Satu pertanyaan riil yang belum lama diajukan kepada saya memang demikian adanya: bagaimana mungkin kita bisa menyerahkan perekonomian kita pada para pebisnis yang rakus, serakah dan egois?

(Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengulas serba sedikit tentang “kegagalan pasar” sebagai sebuah istilah. Kegagalan pasar adalah istilah salah kaprah hasil analogi dari fenomena-fenomena mekanis. Kalau kegagalan jantung, maka sang jantung tidak bekerja sesuai tugasnya. Kegagalan mesin tidak akan mengantarkan kita pada tujuan. Kegagalan pasar secara ketat harus berarti bahwa kita tidak dapat melakukan transaksi.)

Jawaban saya: ini menyangkut problem moralitas manusia yang tidak perlu dikacaukan dengan sistem pengelolaan perekonomian. Pada dasarnya tiap manusia mampu menjadi jahat dan buruk. Sebut saja ini kodrat; yang tidak dapat dinafikan; yang mustahil dihilangkan. Malah kalau ada doktrin yg mau mencoba kemusykilan penyeragamannya, dia harus dicurigai, sebab hal tersebut tidak logis dan akan merupakan penyiaan sumber daya.

Ya, kita semua cenderung enggan disebut tamak, baik itu yang betul-betul tamak atau hanya sekadar ‘tamak’. Tapi setiap individu berhak ‘tamak’ dalam memilih cara terbaik untuk kepentingannya. Namun, dia tentu perlu ingat bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya dan bahwa individu lain sama berhaknya. Masyarakat yang percaya kepada pasar bebas memiliki cara yang terbukti ampuh untuk meresolusi konflik yang mungkin timbul, yang paling andal adalah sistem penegakan hak milik pribadi, meskipun selama ini hanya ditegakkan sepotong-sepotong saja (atas dasar kekuatiran pada ketamakan tadi).

Sebagian dari hasil pilihan individual tidak bisa dipungkiri, memang kadang merupakan pilihan yang immoral, terutama dalam pengertian “normal” masyarakat kita saat ini. Masyarakat dikatakan cukup tak bermoral jika senang bermain judi ketimbang domino, atau minum minuman beralkohol ketimbang susu. Pemerintah dalam keyakinan sebagian pihak harus memperbaiki hal ini, atas asumsi bahwa masyarakart tidak dapat dipercaya mampu membuat pilihan yang baik bagi kepentingannya sendiri.

Tapi argumen ini adalah kontradiksi yang secara logis membunuh dirinya sendiri. Mengapa masyarakat dianggap tidak layak dipercaya mampu membuat pilihan-pilihan yang menyangkut penyelenggaraan hidupnya sehari-hari, sementara masyarakat yang sama layak dipercaya mampu memberikan pilihannya di saat pemilu terhadap para pemimpin yang mereka anggap secara moral lebih superior?

Sebaliknya, masyarakat yang menganjur-anjurkan pemerintahnya untuk mendikte perkara seperti ini adalah masyarakat yang menganjur-anjurkan pemerintah agar menjadi totaliter terhadap segala jenis pilihan dalam hidup mereka.

Kepada masyarakat dan pemerintah yang demikian hanya perlu diperlihatkan apakah anjuran tersebut secara logis dapat membawa kepada hasil akhir yang ingin dicapainya bersama. Dan di sini saya akan memanfaatkan tilikan praksiologis yang amat penting dari Murray Rothbard, seorang pemikir sosial yang pemikirannya belum banyak dikenal luas di negeri kita.

Kita misalkan saja suatu pemerintah ingin memajukan moralitas dan menghapuskan immoralitas di masyarakatnya. Asumsinya di sini adalah adanya moralitas obyektif, yang dapat diperdebatkan; namun, untuk tujuan pembahasan kali ini, kita terima saja. Yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah moralitas masyarakat dapat dipromosikan lewat kekerasan?

Misalkan A, B dan C adalah tindakan-tindakan immoral, sedangkan X, Y, dan Z tindakan yang moral. Dan misalkan Ari Lossa seorang mahasiswa adalah pemabuk-pengonsumsi minuman beralkohol yang akut. Kita di sini ingin mengubah Ari menjadi orang yang bermoral. Bagaimana caranya? Menurut pada penganjur peran pemerintah, jawabannya adalah: melalui paksaan. Kalau perlu kita todong dia di bawah ancaman pistol agar tidak melakukan A. Maka, konon, ia akan menjadi bermoral.

Apakah perkaranya hanya sesederhana itu? Akankah Ari menjadi bermoral? Apakah ia berubah menjadi bermoral lantaran memilih X ketika peluangnya secara paksa dilucuti untuk memilih A? Kalau Ari Lossa berakhir di penjara semacam Roy Marten, apakah ia menjadi bermoral karena ia tidak sedang mabuk-mabukan?

Kalau begini pengertian kita tentang moralitas, maka sebagai konsep dan pegangan hidup dia menjadi tidak bermakna. Sebab moralitas hanya bermakna sejati ketika orang berhak memilih mana yang moral dan tidak. Kebebasan adalah kondisi yang harus ada bagi segala moralitas, dan cuma ada satu cara terbaik untuk mempromosikannya: persuasi.

Jika orang tidak bebas memilih, apabila ia dipaksa oleh unsur eksternal untuk melakukan hal yang moral, maka yang sebenarnya terjadi adalah ia kehilangan peluang untuk menjadi moral. Ia tidak diijinkan untuk mempertimbangkan sendiri alternatif-alternatif yang ada. Saat kebebasan seseorang dalam memilih ditiadakan, ia bertindak atas kehendak diktator ketimbang kehendaknya sendiri.
Print This PostTags: kegagalan pasar, moralitas, pasar bebas

Tulisan lain yang mungkin terkait:

* Krisis Minyak, Krisis Pangan dan Mitos Kegagalan Pasar
* Solidarisme dan Laissez Faire
* Tentang Kematian
* Tentang Krisis Yang Berulang
* Kapitalisme, Ideal Yang Tidak Kita Kenal
* Menjadi Beradab dalam Kebebasan
* Hukum Praksiologi Dalam Menjawab Permasalahan Keadilan Bagi Petani

Psikologi Emosi Dan Moral

Emosi dan moralitas

Pada bab 4 telah disinggung mengenai emosi malu sebagai penjaga nilai moral. Adanya rasa malu melanggar nilai-nilai moral pada anggota masyarakat akan menjamin tetap tegaknya nilai-nilai moral itu. Begitu juga perasaan bersalah berperan dalam menjaga agar suatu nilai moral tertentu tidak dilanggar sekaligus melakukan kompensasi jika dilanggar. Misalnya, Anda menempeleng anak kecil yang telah berbuat ribut. Nilai moral menganggap tindakan Anda sebagai pelanggaran. Anda menyadarinya dan lalu muncul rasa bersalah. Setelah munculnya rasa bersalah, boleh jadi Anda akan berbuat meminta maaf dan melakukan tindakan lain yang menyenangkan si anak sebagai kompensasi rasa bersalah.

Kita tahu bahwa emosi sering bersifat spontan dan tanpa diniatkan dahulu. Pengalaman mengalami emosi berlangsung begitu saja. Tiba-tiba saja marah, kagum atau sedih. Saat Anda berhadapan dengan jurang, tiba-tiba saja Anda langsung gemetar takut. Namun demikian, sebagian pengungkapan ekspresi emosi merupakan sesuatu yang diatur oleh moral. Misalnya Anda jatuh cinta secara romantik pada saudara kandung. Secara moral hal itu tidak dibenarkan. Oleh karenanya emosi cinta itu tidak akan diungkapkan. Lalu misalnya Anda marah kepada anak Anda. Adalah tidak bermoral jika Anda memukulnya. Oleh sebab itu Anda tidak melakukannya.

Pada saat seseorang melakukan tindakan sadar untuk mengatur emosi yang terjadi secara spontan, maka pengaturan itu boleh jadi dipandu oleh nilai moral. Misalnya Anda berupaya menurunkan tingkat kemarahan, sebab marah-marah sembarang tempat dan sembarang situasi, dan juga pada sembarang orang, bukanlah sesuatu yang dianggap baik. Begitu juga misalnya rasa curiga berlebihan terhadap orang lain dinilai tidak bermoral, yang oleh karenanya maka Anda berusaha menurunkan kecurigaan Anda. Anda akan lebih mengontrol rasa curiga Anda.

Emosi yang kita alami juga memberikan informasi pada kita nilai penting moralitas tertentu. Adanya emosi membuat kita sensitif terhadap situasi yang relevan dengan moralitas tertentu atau malah kadang membuat solusi atas dilema moral yang dialami. Pada saat Anda menyaksikan seseorang yang melakukan pelanggaran moral, misalnya ayah memerkosa anak gadis sendiri, maka emosi tidak suka Anda timbul begitu besar. Itu artinya emosi memberikan Anda suatu panduan bahwa peristiwa itu sangat melanggar moral.

Pernahkah Anda merasa bangga memberikan bantuan? Misalnya Anda merasa bangga memberikan sumbangan dalam jumlah besar ke sebuah Panti Asuhan. Mengapa bangga itu Anda alami? Boleh jadi adalah karena Anda telah melakukan sesuatu yang sangat dianjurkan oleh moral. Menyumbang pada yang menderita susah sangat dihargai dalam moralitas di masyarakat. Sebaliknya Anda mungkin merasa getir karena mengambil keuntungan dari penjualan rumah orang yang sedang dililit hutang. Sebab, meskipun tidak salah, mengambil untung saat orang susah kurang dihargai oleh moralitas masyarakat kita.

Psikologi HUMANISTIK / Psikologi Pendidikan

Psikologi Humanistik
Diterbitkan Januari 29, 2008 psikologi pendidikan
Tags: artikel, berita, bimbingan dan konseling, blog indonesia, blog pendidikan, opini, pendidikan, psikologi pendidikan, umum

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian. Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi.
Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.
Sumber :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_education
http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology
http://rumahbelajarpsikologi.com

Psikologi HUMANISTIK / Psikologi Pendidikan

Psikologi Humanistik
Diterbitkan Januari 29, 2008 psikologi pendidikan
Tags: artikel, berita, bimbingan dan konseling, blog indonesia, blog pendidikan, opini, pendidikan, psikologi pendidikan, umum

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian. Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi.
Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.
Sumber :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_education
http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology
http://rumahbelajarpsikologi.com

Psikologi - HUMANISTIK

"PSIKOLOGI HUMANISTIK"

I. Definisi
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis (Misiak dan Sexton, 2005). Situs www.geocities.com/masterptvpsikologi menyebutkan bahwa psikologi humanistik berdasarkan kepada keyakinan bahwa nilai-nilai etika merupakan daya psikologi yang kuat dan ia merupakan penentu asas kelakuan manusia. Keyakinan ini membawa kepada usaha meningkatkan kualitas manusia seperti pilihan, kreativitas, interaksi fisik, mental dan jiwa, dan keperluan untuk menjadi lebih bebas. Situs yang sama menyebutkan bahwa psikologi humanistik juga didefinisikan sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan kepada berbagai nilai, sifat, dan tindak tanduk yang dipercayai terbaik bagi manusia.
Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu, psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, ia menawarkan pengetahuan yang luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia. Ketiga, ia menawarkan metode yang lebih luas akan kaedah-kaedah yang lebih efektif dalam pelaksanaan psikoterapi. Pokok persoalan dari psikologi humanistik adalah pengalaman subjektif manusia, keunikannya yang membedakan dari hewan-hewan, sedangkan area-area minat dan penelitian yang utama dari psikologi humanistik adalah kepribadian yang normal dan sehat, motivasi, kreativitas, kemungkinan-kemungkinan manusia untuk tumbuh dan bagaimana bisa mencapainya, serta nilai-nilai manusia Dalam metode-metode studinya, psikologi humanistik menggunakan berbagai metode mencakup wawancara, sejarah hidup, sastra, dan produk-produk kreatif lainnya. (Misiak dan Sexton, 2005).

II. Ciri-ciri dan Tujuan Psikologi Humanistik
Sebagai suatu paradigma, psikologi humanistik mempunyai ciri-ciri tertentu. Empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik sebagai berikut : (Misiak dan Sexton, 2005)
Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena dalam mempelajari manusia
Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanistik dan reduksionistik
Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan serta menentang penekanan yang berlebihan pada objektivitas yang mengorbankan signifikansi.
Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu. Memang individu sebagaimana dia menemukan dirinya sendiri serta dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial.
Sedangkan Charlotte Buhler—pemimpin internasional dan juru bicara senior psikologi humanistik—menekankan ciri-ciri psikologi humanistik berikut ini sebagai hal-hal yang mendasar, yaitu: (dalam Misiak dan Sexton, 2005)
Mencoba menemukan jalan masuk ke arah studi dan pemahaman individu sebagai keseluruhan.
Berhubungan erat dengan eksistensialisme yang menjadi landasan filosofisnya dan terutama dengan pengalaman intensionalitas sebagai ”inti diri dan motivasi individu”.
Konsep tentang manusia yang paling sentral adalah kreativitas.

III. Konseling dan Terapi
Psikologi humanistik meliputi beberapa pendekatan untuk konseling dan psikoterapi. Pada pendekatan-pendekatan awal ditemukan teori perkembangan dari Abraham Maslow, yang menekankan pada hirarki kebutuhan dan motivasi, psikologi eksistensial dari Rollo May yang mempelajari pilihan-pilihan manusia dan aspek tragis dari keksistensian manusia, dan terapi person-centered atau client-centered dari Carl Rogers, yang memusatkan seputar kemampuan klien untuk mengarahkan diri sendiri (self-direction) dan memahami perkembangan diri sendiri. Pendekatan-pendekatan lain dalam konseling dan terapi psikologi humanistik adalah Gestalt therapy, humanistic psychotherapy, depth therapy, holistic health, encounter groups, sensitivity training, marital and family therapies, body work, dan the existential psychotherapy dari Medard Boss. Teori humanisitk juga mempunyai pengaruh besar pada bentuk lain dari terapi yang populer, seperti Harvey Jackins' Re-evaluation Counselling dan studi dari Carl Rogers. Seperti yang disebutkan oleh Clay (dalam, http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) psikologi humanistik cenderung untuk melihat melebihi model medikal dari psikologi dengan tujuan membuka pandangan non-patologis dari seseorang. Kunci dari pendekatan ini adalah pertemuan antara terapis dan klien dan adanya kemungkinan untuk berdialog. Hal ini seringkali berimplikasi terapis menyingkirkan aspek patologis dan lebih menekankan pada aspek sehat dari seseorang. Tujuan dari kebanyakan terapi humanistik adalah untuk membantu klien mendekati perasaan yang lebih kuat dan lebih sehat terhadap diri sendiri, yang biasa disebut self-actualization (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000; Clay, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology). Semua ini adalah bagian dari motivasi psikolgi humanistik untuk menjadi ilmu dari pengalaman manusia, yang memfokuskan pada pengalaman hidup nyata dari seseorang (Aanstoos, Serlin & Greening, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology).

IV. Evaluasi Psikologi Humanistik
Psikologi Humanistik, sebagai kekuatan ketiga dalam psikologi, telah diberi berbagai keterangan baik, seperti gerakan yang kuat dan bersemangat, suatu gelombang masa depan, dan lain sebagainya. Walaupun demikian, layaknya kedua aliran lain dalam psikologi yaitu behaviorisme dan psikoanalisis, psikologi humanistik pun tidak lepas dari kritkan dan evaluasi. Beberapa diantaranya adalah :
Misiak dan Sexton (2005) menyebutkan bahwa sejumlah kritikus memandang psikologi humanistik sebagai mode, slogan, atau teriakan bersama, ketimbang suatu kekuatan yang nyata. Mereka juga berpendapat bahwa psikologi humanistik adalah suatu gerakan “ngawur” yang lemah karena tersusun dari jalinan yang terlalu banyak, terlalu berjauhan dan kadang-kaang berlawanan, sehingga tidak sanggup menghasilkan tindakan bersama dan pengaruh yang lama.

Sejumlah kritikus lain juga mempesoalkan masalah metodologi yang digunakan oleh psikologi humanistik. Mereka tidak yakin jika psikologi humanistik memiliki metodologi-perangkat, teknik-teknik, dan prosedur-prosedur yang memadai untuk menyelidiki masalah-masalah yang seharusnya diselidiki di atas basis empiris.

Kritikan mengenai psikologi humanistik juga datang dari Isaac Prilleltensky pada tahun 1992, yang berpendapat bahwa psikologi humanistik- dengan kurang hati-hati- mengafirmasi status quo dari sosial dan politik, dan sebab itu telah tetap diam terhadap perubahan sosial. Lebih jauh, dalam review yang dilakukan Seligman & Csiksezentmihalyi (dalam www.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) pada pendekatan lain dari psikologi positif, mencatat bahwa perwujudan awal dari psikologi humanistik kekurangan penekanan pada dari dasar empirik, dan beberapa arahan telah mendorong self-centeredness. Walaupun demikian, menurut pemikir humanistik, psikologi humanistik jangan dipahami mempromosikan ide seperti narsisisme, egosime, atau selfishness (Bohart & Greening, 2001, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology). Asosiasi humanisitk optimis bahwa pandangan dunia telah salah mengerti mengenai teori humanistik. Dalam respon mereka terhadap Seligman & Csikszentmihalyi, Bohart & Greening (dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) mencatat bahwa seiring dengan self-actualization dan individual fulfillment, psikologi humanistik juga telah mempublikasikan karya ilmiah mengenai isu dan topik sosial, seperti promosi perdamaian internasional, kesadaran akan holocaust, pengurangan kekerasan, dan promosi akan kesejahteraan sosial dan keadailan untuk semua.

Psikologi humanistik juga dikritik karena teori-teorinya dianggap mustahil untuk disalahkan atau disangkal (Popper, 1969, dalam dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) dan kekurangan nilai prediktif, dan oleh karena itu tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan. Usaha dari para ahli psikologi humanistik dan psikologi positif untuk menjelaskan tingkah laku manusia seringkali berarti bahwa teori-teori tersebut tidak dapat dibuktikan salah, namun bukan berarti pula bahwa teori-teori tersebut benar adanya. Sebagai contoh, teori psikologi Adler dapat menjelaskan hampir semua tingkah laku sebagai tanda bahwa seseorang telah mengatasi perasaan inferior mereka. Sebaliknya, dengan tingkah laku yang sama juga dapat berlaku sebagai tanda bahwa seorang individu gagal mengatasi perasaan inferior. Teori tersebut sama saja mengatakan “antara akan hujan atau tidak hujan”, Sebuah teori ilmu pengetahuan yang baik seharusnya dapat disangkal dan mempunyai kekuatan untuk memprediksi (Chalmers, 1999, dalam dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology); oleh karena itu, psikologi humanistik bukanlah sebuah ilmu pengetahuan.

REFERENSI

Naisaban, Ladislaus. (2002). Para Psikolog Terkemuka Dunia : Riwayat Hidup, Pokok
Pikiran, dan Karya. . Jakarta: PT Grasindo.

Misiak, Henryk & Sexton, Virginia staudt. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial,
dan Humanistik. Bandung: Refika Aditama

www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm

http://www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm#tigabelas

http://facultyweb.cortland.edu/~andersmd/maslow/explain.html

http://www.geocities.com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf

http://www.psikologiums.net/modules.php?name=News&file=article&sid=27

www.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology

;;