Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....
Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....
Sosok Barack Obama....(Sebuah Cerminan)
0 komentar Diposting oleh bang_ Ahmadi_ N' friend's di 09.44
Barack Obama
Ini dia tokoh populer di Amerika Serikat saat ini. Bersaing secara ketat dengan Hillary Clinton, Obama menjadi idola dan panutan anak muda Amerika
Karir politik Barack Obama melejit. Kemampuan berpolitiknya ditopang kemampuan retorika yang mempesona, kharisma yang berkobar dan senyum menawan. Itulah yang menjadi perhatian kaum muda yang saat ini sedang kecewa dengan politik modern.
Sebenarnya siapa sih Obama ?
Barack Hussein Obama, Jr, lahir 4 Agustus 1961, adalah seorang Senator dari Illinois. Ia menjadi perhatian dunia karena pidato utamanya pada Konvensi Nasional Partai Demokrat 2004, ketika ia masih menjadi Senator Negara Bagian Illinois. Tahun itu juga, ia menjadi orang keturunan Afrika pertama yang memenangkan pemilihan ke Senat AS sebagai seorang Demokrat.
Obama dilahirkan di Queen's Medical Center di Honolulu, Hawaii dari ayah ekonom lulusan Harvard, Barack Hussein Obama, Sr., dari Kenya, dan ibu Ann Dunham, dari Wichita, Kansas. Waktu Obama dilahirkan, kedua orangtuanya adalah mahasiswa di East-West Center di Universitas Hawaii di Manoa.
Ketika berusia dua tahun, orangtuanya bercerai. Ayahnya kembali ke Kenya, dan ia hanya bertemu dengan anaknya sekali lagi sebelum meninggal pada 1982. Ann Dunham kemudian menikah dengan Lolo Soetoro, juga seorang mahasiswa East-West Center (MA Geografi 1962) dari Indonesia.
Pada masa kecilnya Barack menggunakan nama 'Barry'. Keluarga ini kemudian pindah ke Jakarta, di mana adik tiri Obama, Maya Soetoro-Ng, dilahirkan (Obama juga memiliki saudara-saudara tiri dari ayahnya yang menikah lagi). Ketika Obama berusia 10 tahun ia kembali ke Hawaii dan diasuh kakek-neneknya, Madelyn Dunham.
Masa Kecil di SDN Menteng 01
Barack Obama, orang kulit hitam pertama yang kini dijagokan jadi calon presiden Amerika Serikat pada Pemilu 2008, dikenang oleh guru dan teman-temannya di SD Menteng, Jakarta, sebagai murid bertangan kidal yang cerdas.
Sosok kepemimpinan Barry memang sudah terlihat sejak bergabung dengan Pramuka sekolah. Pertama datang ke SDN 1 Menteng, Barry tidak bisa bahasa Indonesia. “Dia diantar ibunya, orang bule,” kenang Bandung Winardiyanto, kakak kelas Obama.
Karena teman-teman satu kelas tidak ada yang bisa bahasa Inggris, Barry pun kesulitan berkomunikasi. Layaknya siswa baru yang “antik”, pria kelahiran 4 Agustus 1961 itu kerap jadi bulan-bulanan teman sekolah.
“Dia (Barry) dijulukin Si Lentik Barry karena bulu matanya lentik sekali, rambutnya keriting khas orang Afrika,” ceritanya. Selain itu, Si Lentik pun dijuluki Si Hitam karena kulitnya berwarna gelap. “Tapi dia sih cuek aja dibilang gitu,” kata Bandung tertawa.
Meski tak bisa bahasa Indonesia lancar, Barry mudah bergaul dengan teman-teman seangkatan bahkan seniornya. Kenangan terindah bersama Barry ketika camping di sekolah.
“Kami senior dan junior menjabat sebagai Pramuka penggalang,” ungkapnya. Kegemaran Barry main tali-temali dan lomba lari. Pokoknya anaknya tak bisa diam, hiperaktif dan sering bertanya,” terang Bandung. Barry juga sering didaulat menjadi pemimpin regu.
“Dia tak pernah memilih-milih teman sampai suka jajan di kios Kamid,” ceritanya. Kios Kamid berdiri sejak tahun 60-an menjual permen, ciki-cikian (sejenis makanan ringan), dan cokelat. Kami sering jajan bareng,” katanya.
Barack Obama siswa SDN Menteng 01
Barack Obama siswa SDN Menteng 01
Karir Politik, Harapan & Perubahan
Karir politik Obama bermula dari konvensi nasional Partai Demokrat pada 2004. Saat itu orang langsung membandingkan dia dengan tokoh-tokoh semacam Martin Luther King Jr, dan ikon Demokrat, John dan Robert Kennedy.
Sejak itulah ia mengembangkan mantra `harapan dan perubahan`. Ia juga menggambarkan pesaingnya, Hillary Clinton, sebagai simbol sistem politik yang rusak dan harus diperbarui segera.
"Ini saat kita akhirnya mengalahkan politik yang menakut-takuti, meragukan dan sinis. Politik ini malah memecah, bukan membangun negara ini," kata Obama kepada pendukungnya.
"Sejak saat ini, anda akan melihat ke belakang dan mengatakan, inilah waktu dan tempat Amerika mengingat apa artinya harapan," lanjutnya.
Karena dua tahun di Kongres dan satu periode sebagai legislator lokal, banyak orang menganggap kampanye Obama sekarang prematur. Dalam bukunya The Audacity of Hope, Obama menjelaskan mengapa ia tidak menunggu giliran untuk bertarung masuk Gedung Putih.
Ia mengaku sangat termotivasi dengan ucapan Martin Luther King Jr tentang `kepentingan yang sangat mendesak` bagi sebuah gerakan akar rumput untuk mendesakkan perubahan.
Ia bahkan sering merenungkan harga yang harus dia bayar untuk menyukseskan kampanyenya, yaitu kehilangan waktu untuk sang istri Michelle dan dua anak perempuannya Malia dan Sasha.
Sebagai kaum kulit berwarna, ia kerap menyebut diri sebagai juru bicara generasi mendatang. Secara implisit berupaya memisahkan diri pejuang kulit hitam pendahulunya seperti Jesse Jackson dan Al Sharpton yang saat ikut pemilu presiden kurang mendapat perhatian dari kaum kulit putih.
Dalam sebuah wawancara dengan AFP, Obama mengaku bahwa hidup di Indonesia telah membuka matanya. Ia melihat kesenjangan lebar antara kaum miskin dan kaya di seluruh dunia, serta dampak pergolakan politik pada rakyat jelata.
"Itu menyadarkan saya tentang jurang lebar di seluruh negara di dunia ini. Ini juga membuat saya sangat memahami betapa orang bisa sedemikian miskin, bagaimana isu-isu korupsi bisa menghilangkan peluang orang," imbuhnya.
Setelah tamat sekolah menengah, Obama kuliah di Universitas Columbia, lalu masuk ke Harvard Law School. Di situlah ia menjadi mahasiswa kulit hitam pertama yang menjabat presiden Harvard Law Review, sebuah lembaga yang sangat berpengaruh.
Obama bersama istri
Obama bersama istri
Semasa kuliah ia sempat bekerja sebagai pengelola komunitas di Harlem New York dan South Side Chicago, dua wilayah paling keras di AS. Saat itu ia membentuk sebuah keluarga.
Ia pun terjun ke politik di Illinois sebagai pengacara yang membela hak publik. Ia pun berhasil tiga periode menjadi senator negara bagian, sebelum berhasil menjadi senator AS pada 2004. Pidatonya saat itu membuat dunia melihat lahirnya seorang bintang baru politik AS.
"Tidak ada kulit hitam Amerika, kulit putih Amerika, Latino atau Asia Amerika, kita satu bangsa. Kita semua berjanji setia pada bendera Amerika, kita semua mempertahankan Amerika Serikat," serunya yang mengundang tepuk tangan membahana. (afp/ly)
Label: amerika, barak obama, politik amerika, presiden AS, USA
Palangkaraya, 31. Okt. 08
Untuk Insan yang mencuri hatiku,
Tetesan embun di luaran menambah dingin suasana, namun saat ini menjelang pukul dua dini hari aku masih membolak – balikkan badanku, begitu sulitnya aku pejamkan mata ini. Dingin yang menyeruak kedalam sumsumku saat ini tak terasa lagi, yang ada hanya sebuah angan yang sulit aku lukiskan dengan kata – kata. Kulirik angka di telepon genggamku telah menunjukan pukul 01.50, berarti kini aku telah sampai di hari rabu, hampir sepuluh hari sejak perjumpaan kita.
Dalam heningnnya pertiga malam dengan beberapa kali kokok ayam , lolongan anjing di seberang jalan rumah ini, aku masih terduduk menatap kedepan, melihat bisa – bias bayangmu.
Dinda …..begitu aku ingin memanggilmu, boleh kan? sekelumit kata penuh makna antara yang lebih tua dan muda antara adik dan kakak ,…antara…. Tak mau terlalu jauh aku berangan, namun hanya sebuah kemauan dan keilkhlasan serta waktu yang akan menjawabnya.
Boleh jawabmu…. Itu yang aku hendaki.
Dinda …
Biar kuhela nafas ini terlebih dahulu sebelum kulanjutkan rangkaian kata kata ini
Dinda…
Bukan aku ingin berlebihan dalam semua ini, semata hanya dari sebuah alur fikir yang terus mengalir dan akan lebih baik jika tanpa dusta aku muarakan di kertas ini.
Kau mengerti tentang senyuman dinda ?.
Senyum adalah sebentuk penyikapan atas hidup. Tanggapmu terhadap Tuhan, alam dan manusia sesama. Senyum adalah ekspresi jiwa pada segala.
Tentu kau yang paling engerti tentang senyummu dinda. Tapi bagiku, senyum tetaplah senyum yang bermakna harmoni. Dengan tersenyumnya dirimu padaku, itu berarti bahwa kau mengajakku berbagi harmoni. Entah itu harmoni rasa, entah itu harmoni jiwa.
Kau begitu pandai tersenyum. Sampai-sampai aku berfikir bahwa senyum telah menjadi seluruh asamu. Sungguh kau sangat lihai mengukir senyuman. Apakah memang kau terlahir dengan senyuman, atau kau terlahir sebagai senyuman? Atau bagaimana bila aku memanggilmu dewi senyuman dinda?
Tapi tampaknya kau memang begitu mengerti tentang arti sebuah senyuman dinda? Kau begitu faham bahwa begitu banyak hal, bahkan mungkin semua, dapat diluruskan dengan sedikit lengkungan di sudut bibirmu.
Aku mulai belajar tersenyum dari dirimu dinda. Meski bibirku tak seindah bibirmu. Meski senyumku tak semanis senyummu.
Maukah kau mengajariku tersenyum?
Kau mengerti tentang keikhlasan dinda?
Keikhlasan bermuara pada satu titik, dimana ego diri dan keangkuhan tidak lagi memiliki eksistensi. Tentu engkau meragu dan sangsi akan hal ini.
Tapi aku sangat yakin dengan hal ini. Bila ego dirimu merontokkan sayap hak milik dan klaim kebenarannya, bila keangkuhanmu menanggalkan jubah kesombongan dan kecongkakannya, maka kau akan hadir dengan telanjang di hadapan diri-Nya dalam kesendirian, kesunyian, kebisuan dan keheningan wujud-Nya.
Kau faham dengan maksudku, dinda? Kalau tidak, maka ambillah cermin dan tataplah lekat pada senyum yang kau ukir, di sana terpatri keikhlasan.
Apakah kau sadar, dinda?
Senyummu telah meluluhlantakkan ego diri dan keangkuhan.
Tahukah engkau tentang keheningan dinda?
Jangan kau menganggap aku mengerti tentang semua ini? Tidak, aku hanya belajar dari senyummu. Senyummu mengabarkan padaku bahwa keheningan tidak terdapat pada situasi dan suasana alam yang harmonis dan dunia yang tanpa suara.
Keheningan terhampar pada padang kebeningan jiwa yang dipenuhi hijaunya rumput keikhlasan dan keteduhan hitamnya bayang pohon kerelaan. Semilir sejuk angin kekhusyukan dan gemericik air pengorbanan menjadi musik yang berdenting lirih di pangkuan-Nya.
Tapi dinda, sungguh sulit membedakan suara suara hati nurani yang hening dan bening dengan bisik nafsu yang ramai, ribut dan meracau tanpa ujung pangkal. Namun lagi-lagi aku belajar dari senyummu, bahwa suara hati nurani akan terdengar jernih bila kita dapat menyusup kedalam taman kesunyian dan lolos dari pelukan dan dekapan tangan-tangan nafsu yang kekar.
Dinda . . . . .
¬¬¬¬¬Dalam rangkaian kata kataku ini aku cuma mau menyampaikan satu hal. Senyummu kemarin manis sekali kulihat. Lebih manis dari sebelumnya. Kau tahu kenapa? Itu karena hari itu, wajahmu tidak hanya dihiasi senyum, tapi wajahmu dilengkapi dengan berbagai makna hidup.
Ternyata kau menyimpan khasanah keindahan lain dari wajahmu dinda. Mungkin sebuah anugerah buatku, bisa mencandra anugrah tuhan. Ini diakibatkan oleh penampilanmu yang berbeda. Jilbab yang membalut kepalamu lebih bersahaja kali ini sehingga wajahmu ibarat purnama.
Kau tahu? Kau menjadi makin manis karenanya.
Dinda, aku berharap dapat melihatmu terus jilbab.
Dinda . . . . .
Jangan bertanya apapun padaku. Aku sedang berusaha mengosongkan jiwaku dari ego diri dan keserakahan. Semua ini kulakukan agar aku bisa memahami, mengerti dan mencintai orang lain.
Aku ingin kembali pada diriku yang pemalu.
Bukankah rasa malu merupakan sabuk pengaman bagi sebuah silaturahmi?
Bagaimana senyummu dinda?
Ingin lebih banyak aku bertanya padamu, setelah sekian hari lamanya aku tak berjumpa, tentu senyummu masih seindah dulu bukan? Oh ya, bolehkan aku meminta sesuatu padamu? Aku penasaran dengan wajahmu bila cemberut. Apa mungkin kau akan lebih manis bila cemberut? Apa mungkin kau akan lebih menarik bila merajuk?
Terkadang aku merasa, kau begitu manja hingga aku menjadi kaget dalam bersikap terhadapmu. Jangan memaksaku menunjukkan bahwa antara kita ada jejaring rasa yang tersulam diam-diam dalam hening dan beningnya hati, bahwa antara kita ada rajutan emosi yang mulai mengkristal dan memintal menjadi temali kukuh dan mengikat jiwa.
Aku takut dengan jejaring dan rajutan itu, ini mungkin sebongkah kebodohan. Tapi bagiku, ini penting untuk kusampaikan sebagai sebentuk keberanian untuk mengakui kekeliruan, kalau ini memang kekeliruan, terutama pada diri sendiri.
Dinda, aku takut kehilangan senyummu.
Dinda . . . . .
Seribu langkah menuju cinta tidak akan terasa. Karena cinta akan mengimpaskannya.
Ada yang harus kau tau dinda,
Kau miliki makna tersediri bagiku,
Tahukah engkau tentang kedalaman makna ?
Baiklah simaklah baik-baik.
Kedalaman makna akan kau gapai bila kau menjalani hidup dengan sederhana. Karena kesederhanaan adalah cermin yang begitu bening, karena kesederhanaan adalah ruang yang begitu hening.
Peritiga malam menjelang shubuh,
Lama aku merangkai kata-kata ini untukmu dinda.
Terus terang aku sengaja melakukannya, aku takut pada diriku sendiri. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya. Bahwa ada jejaring dan rajutan yang mempertautkan kita. Aku sadar, jejaring dan rajutan itu adalah sebongkah cinta. Tetapi jejaring itu telah menjeratku begitu kuat, rajutan itu menyeretku begitu jauh, memaksaku untuk memilikimu.
¬Bukankah cinta tidaklah berarti harus memiliki?
Bukankah cinta tidaklah sebuah janji untuk saling mengikat?
Bukankah cinta tidaklah sebuah akad untuk saling memiliki?
Tapi aku rasa tak bisa melepaskan diri. Makanya aku tak menghubungimu.
Dinda,...
Hari ini aku begitu gelisah, tahukah kau kalau dalam tidur siangku aku bermimpi tentangmu. Kau hadir dengan senyummu yang termanis dalam balutan jilbabmu yang bersahaja, begitu indah.
Tapi sungguh, semua itu membuat aku sakit. Kuingin senyum itu untukku, bukan untuk yang lain.
Aku tak ingin kehilangan segalanya, kalaupun bahkan aku mulai kehilangan kata. Mungkin kalimat ini adalah baris terakhir yang kutulis diam-diam untukmu, diantara sekian banyak kalimat yang masih kusimpan dan tak pernah tercurah sedikitpun padamu.
Dindaku, aku merindui kamu.
Palangkaraya, 19 Agustus 2008