Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

Psikologi Prasangka Orang Indonesia

Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia.

1. Ilustrasi
Tahun 1989 selagi mahasiswa saya sempat mengikuti sebuah penelitian di Kalimantan dan mendapatkan briefing dari peneliti senior di Perguruan Tinggi di Banjarmasin . Setelah briefing usai, Cantika, mahasiswi asal Banjar yang juga terlibat dalam penelitian mengajak Saya dengan berkata ” Kang , mari main kelamin saya!” Saya karuan saja rikuh. Pikir saya ”gila juga nih mahasiswi, baru aja kenal udah ngajajak yang macam-macam” . Membaca bahasa tubuh saya yang keGeEran , Cantika langsung menimpali ”Wee jangan berpikir yang bukan-bukan, ya maksud saya ayo main ke kamar (lamin=kamar) kos saya untuk ambil sejumlah buku”.

Tahun 1997 di ruang training , saya membaca name tag seorang peserta tertulis Endang Kosasih kemudian mengajak bicara dalam bahasa Sunda.” Kumaha Pak Endang, damang yeuh, tos kagungan putra sabaraha? Parantos lami didamel di dieu ? ” Ia hanya mendapatkan jawaban diam dan mata melongo dari peserta. Saat saya bertanya “kenapa kok bengong pak ¿ . Jawab peserta tersebut “Maaf pak, nama saya Endang Kosasih-memang nama Sunda, marga Saya Sembiring Meliala, ayah saya punya sahabat yang dikaguminya ,berhnama Endang Kosasih orang Sunda dan memberi nama itu pada saya”.

Saat pertama kali ke Aceh pasca amuk samudra, Maret 2005 begitu turun di Bandara Blang Bintang dengan wajah sangar , tubuh denan dada dibusungkan dan tangan bertenaga sejumlah pria menahan saya (belakangan diketahui orang ini anggota GAM) dan mengajukan pertanyaan , ”Siapa Nama ”. Saya menjawab lantang ”Nama saya Asep Haerul Gani”. Si penanya , bertanya lagi, ”Orang Sunda , ya dari daerah Kartosuwiryo”. Saya jawab ” Betul sekali, saya orang Sunda dari daerah Garut, Kartosuwiryo dari daerah Limbangan Garut sama dengan saya”. Para penanya ini herannya malah melemah dan memberi isyarat kepada temannya untuk mempersilakan saya mendapatkan mobil sewaan. Masih teringat saja si penanya berkata lirih ”Anda seperjuangan dengan Saya, Kita di Aceh menghargai Pak Kartosuwiryo teman seperjuangan Teuku Daud Beureh”. Selama bepergian ke Aceh aman-aman saja . Berbeda dengan pengalaman teman-teman saya yang justru kena palak berkali-kali karena gara-gara namanya dikaitkan dengan nama sang tokoh orde baru.

2. Prasangka dalam kehidupan manusia
PRASANGKA adalah tema utama dari tiga cerita di atas . Masih banyak cerita-cerita lainnya yang saya alami yang bila ditarik benang merahnya bertemakan prasangka. Saking banyaknya cerita-cerita dalam hidup saya yang bertema Prasangka, sampai-sampai saya menduga betapa tidak mudah menjadi orang yang merdeka dari prasangka.

Prasangka adalah praduga yang bisa berkonotasi positif atau negatif trhadap suatu objek. Prasangka dalam bahasa Arab adalah dzan. Prasangka yang berkonotasi positif disebut dengan husnuzhan sedangkan prasangka yang berkonotasi negatif diistilahkan Suudzhon. Prasangka adalah fenomena persepsi. Kita menerima informasi mengenai objek lalu mempersepsikannya. Persepsi kita tentang sesuatu sangat tergantung seberapa banyak informasi yang anda peroleh tentangnya. Informasi yang sedikit dan hanya satu sisi tentu saja akan menyebabkan persepsi seseorang terhadap sesuatu mengalami bias. Semakin bias sebuah informasi, maka prasangka pun semakin menjadi.

Manusia terbelenggu dalam prasangka sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Manusia tidak bebas dari prasangka sejak lahir dari liang rahim hingga masuk liang kubur. Manusia bisa berprasangka terhadap apapun mulai dari makanan yang dimakan, pakaian yang disandang, peralatan yang diiklankan di TV, Berita yang tertulis di surat kabar, kendaraan yang ditumpangi, buku yang dibaca hingga tokoh yang naik daun. Objek prasangka bisa hal biasa yang dipandang nista hingga hal yang luhur dipandang agung . Manusia bisa berprasangka terhadap Nama, Gelar, Jabatan, Pekerjaan. Manusia pun bisa berprasangka terhadap pakaian yang anda kenakan, kelompok tempat anda berafiliasi, rekan-rekan yang menjadi sahabat anda bahkan pada aktifitas keagamaan yang anda geluti.

Meskipun prasangka pada awalnya maknanya adalah netral, bisa positif juga negatif, dalam sejumlah kajian psikologi seakan kata prasangka terjadi penyempitan makna. Prasangka cenderung dimaknai dengan praduga yang berkonotasi negatif terhadap objek tertentu diakibatkan oleh bias karena kurang lengkapnya informasi, dan semakin diperparah dengan adanya penilaian yang negatif dan merendahkan terhadap objek/kelompok yang bukan bagian dari identitas diri..

Di masyarakat yang multi etnik, ragam kultur, aneka bahasa, macam agama dan keyakinan ini peluang anda untuk terpancing prasangka negatif terhadap orang lain cukup besar. Prasangka negatif ini dalam beberapa hal mungkin hanya memicu kelucuan saja, namun dalam tingkat yang lebih parah bisa memicu perkelahian, pembunuhan massal hingga penghapusan etnik tertentu (genocide).

3. Buku ”Psikologi Prasangka Orang Indonesia”
Buku yang terdiri dari 8 Bab, 206 halaman ini membahas mengenai Prasangka. Meskipun buku ini tidak mengurai lengkap seluruh prasangka yang mungkin diungkap, paling tidak buku ini memenuhi keperluan pembaca yangingin memahami fenomena prasangka.

Mas Ito, nama biasa ia dipanggil oleh mahasiswa, menjelaskan alasan penerbitan buku ini. Buku ini adalah buku yang mencoba merangkum temuan-temuan penelitian dari tugas kuliah, skripsi, tesis dan disertasi tentang prasangka. Di Bab II, dengan cara ngepop mas Ito menguraikan teori dari belahan Barat dan Timur mengenai prasangka.

Di Bab III hingga Bab VII Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono ini berupaya menyajikan fenomena-fenomena prasangka di Indonesia.

Di Bab III Anda akan menemukan beragam teori yang diungkapkan sejumlah peneliti terhadap kasus-kasus prasangka Etnik. Anda akan membaca bagaimana prasangka orang Papua terhadap karyawan Freeport, prasangka etnik dalam perkawinan, dan kerusuhan-kerusuhan yang dipicu oleh prasangka etnik.

Setelah menyusuri Bab IV anda akan senyum dikulum menelusuri bagaimana prasangka terhadap Gender meskipun di bab ini hanya mengutip prasangka terhadap gender perempuan di posisi domestik hingga perempuan di kancah publik, apalagi subjudulnya pun cukup menggelitik dan berprasangka : Dari Ibu Srie ke Ibu Tien.

Di Bab V anda akan temukan bagaimana prasangka juga muncul di kalangan agama atau umat beragama, bahkan Tuhan dipandang sebagai alasan untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan, penghakiman dan pembunuhan oleh sebagian orang.. Anda akan terkesima oleh kutipan seorang yang mengkritik Syiah . Anda akan tercengang oleh cerita seorang Wartawati yang semula mewawancari Jafr Umar Thalib malah kemudian menjadi pengikut setia. Andapun akan galau saat Anda membaca kisah Saefudin , alumni pesantren yang mengajarkan toleransi di Ponorogo Jawa Timur justru terjebak dalam konflik batin menyembunyikan alm. Dr. Azahari dan Noordin M Top.

Di Bab VI yang menguraikan Prasangka Politik dan Agressi anda dapat membaca kisah-kisah kerusuhan yang dipicu oleh prasangka antar umat beragama. Anda seakan diajak kembali menelusuri jejak kasus mulai dari kasus Empok (empat Oktober 1994) Tanjung Priuk hingga berakhir dengan rekonsiliasi dan Kasus kerusuhan Ambon yang juga diwarnai pengguinaan simbol-simbol agama dan kata-kata julukan seperti Obet dan Acan.

Nah Bab VII ini adalah Bab unik. Seperti adegan Goro-Goro pada lakon Wayang Kulit.. , Adegan yang ditampilkannya bisa membuat penonton nyantai sejenak . Ada adegan saru (nyerempet porno), lucu , senyum dan memancing tawa di Bab ini. Setelah anda membaca suasana yang penuh ketegangan, tumpahan darah dan airmata di Bab V dan VI anda akan tersenyum membaca cerita tentang seks, lelucon tentang seks, penelitian tentang seks dan folklore tentang seks. Nama Ma Erot dari Sukabumi pun dimunculkan di bab ini. Bahkan Kartun Jane yang sedang bergelantungan memegang ”akar” Tarzan sehingga Tarzan berteriak ”Auuuuuooooooooo ” pun menghiasi halaman bab ini.

Sarlito Wirawan Sarwono memang bukan cerpenis. Namun demikian membaca buku ini tak ubahnya membaca buku kumpulan cerpen seorang cerpenis. Boleh jadi cerita demi cerita tidak disusun berdasarkan urutan atau sistematika tertentu. Anda mempunyai kebebasan membaca dari bab mana. Mulai dari bab manapun anda membaca , tak masalah. Anda akan dibawa hadir masuk ke dalam suasana cerita, bahkan anda merasa seakan menjadi Sang Tokoh sendiri. Percayalah emosi anda pun akan disentuh oleh kenyataan-kenyataan yang dipaparkan pada setiap bab, Ada emosi geram dan kesal. Ada emosi khawatir sedih dan takut. Ada emosi birahi yang menggelegak. Ada pula emosi tawa dan canda.

Di Bab VIII Mas Ito, yang juga peniup Saxophone The Profesor ini berupaya menutup dengan menduga sejumlah hal yang menjadi akar prasangka di Indonesia. Seperti yang diungkap di awal tulisan ini, Mas Ito pun tetap tidak bebas dari prasangka saat menulis dan menutup buku ini.

Buku yang diterbitkan PT. Raja Grafindo Persada, 2006 ini mungkin akan lebih baik bila editor dari penerbit cukup teliti. Ada penulisan dan penomoran yang mengganggu di halaman 165 yang merupakan bagian dari Tabel 7.7. Di tabel 7.7. ini mengurai Sifon, Budaya Sperma dan Nikah Sirri. Bila dibaca teliti sebenarnya mengupas Sifon, Budaya Sprema, Gunung Kemukus dan Nikah Sirri. Editor harusnya menuliskan c. Gunung Kemukus bukan bagian dari Budaya Sperma, tetapi sebagai sub tersendiri, dengan demikian nomor 8-12 di halaman 165 seharusnya menjadi nomor 1-5 di bawah sub Gunung Kemukus.

Hal lainnya adalah tidak ditemukannya nama Hamdi Muluk dalam daftar Pustaka sebanyak 187 itu padahal nama tersebut diulang-ulang dalam teks.

Buku yang di toko buku Gramedia dijual seharga Rp 33.000 – ini , paling tidak bisa menjadi acuan pendidik, pengajar, trainer, inspirator, motivator, pekerja sosial, kalangan LSM untuk bisa masuk dan meretas prasangka demi kejayaan Indonesia Raya. Masih jauh jalan menuju sana, bisa jadi. Membaca buku ini dan memahaminya minimal menjadi langkah awal menuju ke tujuan luhur itu.

DATA MENGENAI BUKU
Pengarang : Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono
Tebal : 206 halaman
Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada, Rajawali Pers Jakarta
Tahun : 2006
Ukuran : 13,3 X 24,5 cm

Pun Sapun , AmpĆ³n Paralun
Salam hangat dari Ciracas
Asep Haerul Gani

0 Comments:

Post a Comment