Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....


Catatan A. Umar Said

Bung Karno : “Sumbangan dan pengorbanan PKI besar sekali!”

Berikut di bawah ini disajikan cuplikan dari sebagian pidato Presiden
Sukarno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta,
tanggal 13 Februari 1966... Pidatonya ini diucapkannya 4 bulan sesudah
terjadinya G30S, ketika Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto sudah mulai
secara besar-besaran membunuhi, atau menangkapi, atau menyiksa para pemimpin
PKI dan tokoh-tokoh berbagai organisasi masa (antara lain : buruh, tani,
nelayan, pegawai negeri, wanita, mahasiswa, pelajar, intelektual, seniman)
di seluruh Indonesia.

Agaknya, patut dicatat bahwa pidato Bung Karno di depan rapat umum Front
Nasional ini diucapkannya ketika golongan militer di bawah pimpinan
Suharto-Nasution sudah terang-terangan mulai melakukan “kudeta merangkak”
secara bertahap dan juga merongrong atau merusak kewibawaannya.

Cuplikan sebagian pidatonya ini, diambil dari buku “Revolusi Belum Selesai”
halaman 422, 423 , 424, dan 425 Buku “Revolusi Belum Selesai” tersebut
terdiri dari 2 jilid, dan berisi lebih dari 100 pidato-pidato Bung Karno,
yang diucapkannya di berbagai kesempatan sesudah terjadinya G30S sampai
pidatonya tentang Nawaksara 10 Januari 1967. Karena sesudah terjadinya G30S,
boleh dikatakan bahwa semua media massa (pers, majalah, TV dan radio )
dikuasai atau dikontrol keras Angkatan Darat, maka banyak sekali (atau
hampir semua) pidato-pidato Bung Karno di-black out atau diselewengkan atau
dimanipulasi. , sehingga tidak diketahui oleh umum secara selayaknya.

Isi buku “Revolusi belum selesai “ ini menyajikan berbagai hal penting yang
berkaitan dengan fikiran atau pandangan Bung Karno tentang perlunya
persatuan revolusioner bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan
makmur atau sosialisme à la Indonesia, menentang imperialisme AS, melawan
neo-kolonialisme dalam segala bentuknya, menjaga persatuan bangsa dan
kesatuan Republik Indonesia dan juga mengenai G30S. Karena itu, di samping
buku “Di bawah Bendera Revolusi” yang juga merupakan kumpulan tulisan dan
pidato-pidatonya selama perjuangannya sejak muda, maka buku “Revolusi Belum
Selesai” merupakan dokumen sejarah Indonesia yang amat penting untuk
dijadikan khasanah bangsa Indonesia.

Mengingat pentingnya berbagai isi buku “Revolusi belum selesai” ini untuk
mengenal lebih jauh dan lebih dalam lagi gagasan atau ajaran Bung Karno,
maka website http://kontak. club.fr/index. htm akan sesering mungkin
menyajikan cuplikan-cuplikanny a. Kali ini disajikan pendapat Bung Karno
mengenai sumbangan atau jasa-jasa PKI dalam perjuangan bangsa Indonesia
untuk mencapai kemerdekaan. Apa yang diungkapkannya secara tegas, jujur,
dan terang-terangan tentang PKI, merupakan hal-hal yang patut menjadi
renungan kita bersama.

Penghargaan Bung Karno terhadap perjuangan PKI mempunyai bobot penting dan
besar sekali. dalam sejarah perjuangan bangsa. Karena, penghargaan ini
datang dari seorang bapak besar bangsa, yang dalam sepanjang hidupnya telah
membuktikan diri dengan jelas sebagai seorang pemimpin nasionalis, yang
juga muslim dan sekaligus marxis. Sangatlah besar artinya, ketika ia
mengatakan bahwa sumbangan PKI dalam perjuangan untuk kemerdekaan adalah
paling besar

dibandingkan dengan partai-partai atau golongan yang mana pun, bahkan
termasuk PNI yang telah ia dirikan sendiri.

Apa yang dikatakan Bung Karno ini amat penting untuk diketahui oleh rakyat
Indonesia berikut generasi yang akan datang. Karena, selama lebih dari 40
tahun masalah PKI ini dipakai oleh Suharto bersama jenderal-jenderalny a
sebagai alat untuk menjatuhkan kekuasaan dan kewibawaan Bung Karno dan
menghancurkan kekuatan kiri atau revolusioner yang mendukung politiknya.
Racun yang disebarkan oleh rejim militer Orde Baru secara terus-menerus,
intensif, luas, dan menyeluruh ini, sampai sekarang masih bisa mempengaruhi
fikiran sebagian masyarakat kita.Salah satu buktinya ialah apa yang
disiarkan oleh koran Duta Masyarakat tanggal 18 dan 19 Januari 2009. (Harap
para pembaca menyimak ucapan-ucapan Asisten Intelijen Kasdam I/Bukit
Barisan, Kolonel (Inf) Arminson, dalam tulisan di harian tersebut yang
berjudul “Lewat kaos, parpol hingga film).

Cuplikan sebagian pidato Bung Karno mengenai PKI ini menunjukkan betapa
besar dan jauhnya gagasan atau idam-idamannya tentang persatuan revolusioner
yang dirumuskannya dalam konsep Nasakom. Ini terasa lebih penting dan
menonjol sekali, kalau kita ingat bahwa pidatonya ini diucapkannya (dalam
bulan Februari 1966) ketika Suharto bersama jenderal-jenderalny a sudah
melakukan berbagai langkah besar-besaran untuk menghancurkan PKI.

Cuplikan dari pidato Bung Karno :

(Catatan : teks cuplikan pidato ini diambil oleh penyusun buku “Revolusi
belum selesai” dari Arsip Negara, dan disajikan seperti aslinya.
Kelihatannya, pidato Bung Karno ini diucapkannya tanpa teks tertulis,
seperti halnya banyak pidato-pidatonya yang lain yang juga tanpa teks
tertulis).

“Nah ini saudara-saudara, sejak dari saya umur 25 tahun, saya sudah bekerja
mati-matian untuk samenbundeling (penggabungan) ) semua revolutionaire
krachten (kekuatan revolusioner) buat Indonesia ini. Untuk menggabungkan
menjadi satu semua aliran-aliran, golongan-golongan, tenaga-tenaga
revolusioner di dalam kalangan bangsa Indonesia. Dan sekarang pun usaha ini
masih terus saya jalankan dengan karunia Allah S W T. Saya sebagai Pemimpin
Besar Revolusi, sebagai Kepala Negara, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata, saya harus berdiri bukan saja di atas semua golongan, tetapi
sebagai ku katakan tadi, berikhtiar untuk mempersatuan semua golongan.

“Ya golongan Nas, ya golongan A, ya golongan Kom. Kita punya kemerdekaan
sekarang ini, Saudara-saudara, hasil daripada keringat dan darah, ya Nas, ya
A, ya Kom. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan hanya
hasil perjuangan kami Nas saja. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini
kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan-perjuang an kami A saja. Jangan
pula ada golongan yang berkata, kemerdekaan ini adalah hasil daripada
perjuangan kami, golongan Kom saja.

“Tidak .Sejak aku masih muda belia, Saudara-saudara, aku melihat bahwa
golongan-golongan ini semuanya, semuanya membanting tulang, berjuang, bahkan
berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Saya sendiri adalah Nas, tapi aku,
demi Allah, tidak akan berkata kemerdekaan ini hanya hasil dari pada
perjuangan Nas. Aku pun orang agama, bisa dimasukkan dalam golonban A, ya
pak Saifuddin Zuhri, saya ini ? Malahan, saya ini oleh dunia Islam
internasional diproklamir menjadi Pahlawan Islam dan Kemerdekaan. Tetapi
demi Allah, demi Allah, demi Allah SWT, tidak akan saya berkata bahwa
perjuangan kita ini, hasil perjuangan kita, kemerdekaan ini adalah hasil
perjuangan daripada A saja.

“Demikian pula aku tidak akan mau menutup mata bahwa golongan Kom, masya
Allah, Saudara-saudara, urunannya, sumbangannya, bahkan korbannya untuk
kemerdekaan bukan main besarnya. Bukan main besarnya !

“Karena itu, kadang-kadang sebagai Kepala Negara saya bisa akui, kalau ada
orang berkata, Kom itu tidak ada jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, aku
telah berkata pula berulang-ulang, malahan di hadapan partai-partai yang
lain, di hadapan parpol yang lain, dan aku berkata, barangkali di antara
semua parpol-parpol, di antara semua parpol-parpol, ya baik dari Nas maupun
dari A tidak ada yang telah begitu besar korbannya untuk kemerdekaan
Indonesia daripada golongan Kom ini, katakanlah PKI, Saudara-saudara.

“Saya pernah mengalami. Saya sendiri lho mengalami, Saudara-saudara,
mengantar 2000 pemimpin PKI dikirim oleh Belanda ke Boven Digul. Hayo,
partai lain mana ada sampai ada 2000 pimpinannya sekaligus diinternir, tidak
ada. Saya pernah sendiri mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri,
pada satu saat 10 000 pimpinan daripada PKI dimasukkan di dalam penjara.
Dan menderita dan meringkuk di dalam penjara yang bertahun-tahun.

“Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada parpol lain, bahkan
bukan parpolku, aku pemimpin PNI, ya aku dipenjarakan, ya diasingkan, tetapi
PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan Indonesia daripada
apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan tegas.

“Kita harus adil, Saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali adil. Aku, aku
sendiri menerima surat, kataku beberapa kali di dalam pidato, surat daripada
pimpinan PKI yang hendak keesokan harinya digantung mati oleh Belanda, yaitu
di Ciamis. Ya, dengan cara rahasia mereka itu, empat orang mengirim surat
kepada saya, keesokan harinya akan digantung di Ciamis. Mengirim surat
kepada saya bunyinya apa ? Bung Karno, besok pagi kami akan dihukum di tiang
penggantungan. Tapi kami akan jalani hukuman itu dengan ikhlas, oleh karena
kami berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kami berpesan kepada Bung Karno,
lanjutkan perjuangan kami ini, yaitu perjuangan mengejar kemerdekaan
Indonesia.

“Jadi aku melihat 2000 sekaligus ke Boven Digul. Berpuluh ribu sekaligus
masuk di dalam penjara. Dan bukan penjara satu dua tahun, tetapi ada yang
sampai 20 tahun, Saudara-saudara. Aku pernah mengalami seseorang di
Sukamiskin, saya tanya : Bung, hukumanmu berapa? 54 tahun. Lho bagaimana
bisa 54 tahun itu ? Menurut pengetahuanku kitab hukum pidana tidak ada
menyebutkan lebih daripada 20 tahun. 20 tahun atau seumur hidup atau hukuman
mati, itu tertulis di dalam Wetboek van Strafrecht (kitab hukum pidana).
Kenapa kok Bung itu 54 tahun? Ya. Pertama kami ini dihukum 20 tahun,
kemudian di dalam penjara, kami masih mempropaganda- kan kemerdekaan
Indonesia antara kawan-kawan pesakitan, hukuman. Itu konangan, konangan,
ketahuan, saya ditangkap, dipukuli, dan si penjaga yang memukuli saya itu
saya tikam mati. Sekali lagi aku diseret di muka hakim, dapat tambahan lagi
20 tahun. Menjadi 40 tahun.

“Sesudah saya mendapat vonnis total 40 tahun ini, sudah, saya tidak ada lagi
harapan untuk bisa keluar dari penjara. Sudah hilang-hilangan hidup saya di
dalam penjara ini, saya tidak akan menaati segala aturan-aturan di dalam
penjara. Saya di dalam penjara ini terus memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Pada satu waktu saya ketangkap lagi, oleh karena saya berbuat
sebagai yang dulu, saya menikam lagi, tapi ini kali tidak mati, tambah 14
tahun, 20 tambah 20 tambah 14 sama dengan 54 tahhun.

“Ini orang dari Minangkabau, Saudara-saudara. Dia itu tiap pagi subuh-subuh
sudah sembahyang. Dan selnya itu dekat saya, saya mendengar dia punya doa
kepada Allah SWT ; Ya Allah, ya Robbi, aku akan mati di dalam penjara ini.
Tetapi sebagaimana sembahyangku ini, shalatku ini, maka hidup dan matiku
adalah untuk Engkau.

“Coba; coba, coba, coba ! Lha kok ada sekarang ini golongan-golongan yang
berkata bahwa komunis atau PKI tidak ada jasa di dalam kemerdekaan Indonesia
ini.

“Sama sekali tidak benar ! Aku bisa menyaksikan bahwa di antara
parpol-parpol malahan mereka itu yang telah berjuang dan berkorban paling
besar.”

** *

Demikian kutipan sebagian kecil dari amanat Presiden Sukarno di depan rapat
umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966.

Seperti yang sama-sama kita lihat, amanat tersebut adalah luar biasa! Di
dalamnya terkandung pesan (message) yang besar sekali kepada seluruh nasion,
dan sekaligus juga peringatan keras kepada semua golongan (terutama kalangan
jenderal-jenderal pendukung Suharto) yang bersikap anti-komunis.

Adalah jelas bahwa pernyataan Bung Karno tentang PKI di depan Front Nasional
dalam tahun 1966 itu berdasarkan kebenaran sejarah, dan juga bahwa itu
lahir dari ketulusan hatinya yang sedalam-dalamnya. Pernyataannya yang
demikian itu adalah cermin dari isi atau jiwa perjuangan revolusionernya
sejak muda.

Pendapat Bung Karno tentang sumbangan atau pengorbanan PKI untuk kerdekaan
Indonesia menunjukkan bahwa ia adalah betul-betul pemersatu rakyat
Indonesia, guru besar dan bapak bangsa, yang tidak ada bandingannya di
Indonesia.

Catatan tambahan :

Buku “Revolusi belum selesai” terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi
443 halaman, sedangkan jilid kedua 456 halaman.

Buku ini diterbitkan oleh. Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (MESIASS),
Semarang

Penyunting/Editor :Budi Setiyono dan Bonnie Triyana

Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak. club.fr/index. htm

TELE-POLITICS, IKLAN, DAN PERILAKU PEMILIH

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Penulis adalah Master Bidang Politik, Australian National University (ANU);

sekarang analis politik Charta Politika Indonesia.



Mantan Perdana Menteri Inggris John Major pernah berkata: "You cannot run a nation by sound bites. No; but you can be elected by them and defeated by them."

***

Cobalah perhatikan penampilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika tampil di depan publik. Gaya busana yang dandy, wajah ceria dengan senyum mengulum di bibir, rambut yang disisir rapi, tutur kata yang tertata, dengan intonasi yang jelas, tapi berbobot intelektual tinggi.



Penampilan Yudhoyono itu makin sempurna jika disorot puluhan kamera wartawan. Yudhoyono memang dikaruniai wajah tele-genic (menarik dilihat di televisi) dan sangat sadar untuk memanfaatkan anugerah Tuhan tadi untuk meningkatkan pencitraannya di mata masyarakat.



Masih segar di ingatan pada saat Yudhoyono mengucapkan selamat atas kemenangan Obama dalam pilpres di Amerika Serikat. Yudhoyono berkali-kali mengulang congratulation speech-nya untuk mendapatkan gambar yang paling bagus. Padahal dia sudah dibantu dengan teleprompter (alat khusus yang biasa dipakai penyiar berita untuk membaca naskah).



Era Tele-politics

Tele-politics adalah sebuah fenomena baru yang menandai bergesernya peran partai politik dan munculnya dominasi media massa, terutama televisi, dalam menjangkau pemilih. Televisi muncul sebagai kekuatan baru yang lebih masif dalam menyampaikan informasi politik kepada masyarakat. Data survei menunjukkan bahwa masyarakat kita paling banyak mendapatkan informasi politik melalui televisi (87%).



Harus diakui, televisi mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga dan memerantarai hubungan yang lebih bersifat impersonal. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan politik konvensional yang mensyaratkan kehadiran seseorang, interaksi melalui televisi lebih bersifat one-way traffic communication, lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih.



Istilah tele-politics pertama kali dipopulerkan oleh Michael Bauman (2007), ahli cultural studies. Dia mengungkap debat calon presiden pada 26 September 1960 yang baru pertama kali disiarkan melalui televisi di AS sebagai awal mula berkembangnya tele-politics di negeri Paman Sam itu. Sebanyak 70 juta pemirsa memelototi layar televisi menyaksikan John Kennedy sebagai capres dari Demokrat melawan wapres Richard Nixon yang diusung partai Republik sebagai capres.



Kennedy tampil lebih artikulatif, dengan gaya komunikasi yang memukau, lebih muda dan jauh lebih tampan. Sebaliknya, Nixon lupa merapikan rambut dan jenggotnya. Pemirsa TV sebagian besar menahbiskan Kennedy sebagai pemenang debat. Sebaliknya, pendengar radio justru mendaulat Nixon sebagai pemenang debat karena dianggap lebih menguasai materi ketimbang Kennedy. Anehnya, kemenangan debat melalui televisi itulah yang kemudian mengantarkan Kennedy ke Gedung Putih



Mantra Iklan

Virus tele-politics kini mulai menjangkiti Indonesia. Riset terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang baru dirilis Januari 2009, menunjukkan meningkatnya elektabilitas Partai Demokrat (23%) dan Gerindra (3,9%). Menurut LSI, meroketnya suara kedua partai ini disebabkan oleh akseptabilitas publik terhadap iklan-iklan politik Demokrat dan Gerindra yang ditayangkan secara masif di televisi.



Yudhoyono juga menangguk untung melalui penampilannya yang meyakinkan melalui televisi dan iklan-iklan yang mengabarkan keberhasilan pemerintahannya. Sekitar 43% responden mengaku akan memilihnya jika pemilu diadakan hari ini, jauh melampaui kandidat-kandidat yang lain. Ketika di-trace back ke personality capres, Yudhoyono paling banyak mendapatkan kredit.



LSI mensinyalir munculnya gejala "silent revolution" (revolusi diam-diam) yang menandai dominasi media massa, terutama televisi, dalam mempersuasi pemilih. Memori pemilih, menurut LSI, lebih banyak dipengaruhi oleh iklan televisi ketimbang iklan radio atau suratkabar. Tak berlebihan jika iklan politik Gerindra menempati proporsi terbesar (51%) yang mempengaruhi memori pemirsa televisi. Dilihat dari tingkat viewership, 36% responden mengaku beberapa kali menonton iklan-iklan Gerindra, 21% responden menonton hampir tiap hari, dan 9% responden hanya menonton sekali. Hanya 34% responden yang mengaku tidak menonton iklan-iklan politik tersebut.



Menariknya, Gerindra berhasil mengemas iklan mereka dalam "kemasan" yang menarik. Iklan Gerindra bukan saja mengejar target awareness atau popularitas, tapi juga meningkatkan likeability dan electability mereka. Caranya dengan membidik melalui pesan-pesan yang menjadi concern utama masyarakat seperti kepedulian terhadap petani, nelayan, dan pedagang pasar tradisional.



Di sisi lain, iklan-iklan politik Demokrat juga tidak kalah masif dibandingkan Gerindra. Bedanya, Demokrat berhasil mendapatkan kredit dari kesuksesan pemerintah di bawah Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam bidang penegakan hukum, pemberantasan korupsi, peningkatan kesejahteraan rakyat melalui layanan kesehatan dan pendidikan.



Intinya, Demokrat berhasil men-frame kesuksesan pemerintah melalui bahasa-bahasa iklan yang sederhana dan straight to the point. Pada saat yang sama, partai-partai lain, kecuali PDI Perjuangan, belum cukup massif melakukan counter attack dengan merilis iklan-iklan kegagalan kebijakan SBY dan Kalla. Iklan PDI Perjuangan tentang sembako, dari sisi frekuensi penayangan, juga masih kalah dibandingkan iklan Demokrat. Akibatnya, menurut LSI, perilaku pemilih sekarang ditentukan oleh informasi sepihak yang diiklankan Demokrat.



Gejala tele-politics bahkan mempengaruhi elit partai dalam merekrut caleg. Karena artis memiliki popularitas tinggi, banyak partai-partai politik yang mendapuk artis sebagai caleg dengan maksud untuk memperbesar suara partai. Akhirnya, kader-kader partai yang memiliki kompetensi tergusur oleh hukum besi populisme, apalagi dengan sistem suara terbanyak yang lebih membuka peluang bagi artis popular untuk mengalahkan politisi yang sudah lama malang-melintang dalam dunia perpolitikan.



The Lying Camera

Di AS, ada adagium lama: "The camera never lies." Nyatanya, justru sebaliknya. Kamera justru mengkonstruksi citra menjadi realita. Bauman menyatakan bahwa kamera justru selalu berbohong. Melalui apa yang oleh kalangan televisi disebut "the illusion of presence," kamera berpretensi mempermak wajah asli partai dan politisi.



Cobalah kita kritisi iklan-iklan partai Demokrat dan Gerindra. Benarkah klaim-klaim Demokrat bahwa korupsi telah disikat habis pada masa pemerintahan Yudhoyono? Benarkah Gerindra memiliki keberpihakan terhadap petani dan pedagang kecil? Apakah Gerindra dan tokoh-tokoh partainya memiliki track record terhadap masalah pertanian, ataukah hanya sekadar mengklaim lewat iklan yang diputar terus-menerus melalui televisi.



Jozef Goebbels, Menteri Propaganda pada masa Adolf Hitler, pernah berkata: "Kebohongan yang diulang berkali-kali, maka akan menjadi kebenaran dan dipercaya publik." Realisme naïf yang dicekokkan terus-menerus melalui iklan televisi akan "memanipulasi" kebenaran. Menjadi berbahaya jika iklan-iklan kecap politik tadi ditelan mentah-mentah oleh masyarakat []

;;