Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

Psikologi - BEHAVIOR

Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan Dan Implikasinya pada perilaku pribadi
Ditulis pada Oktober 26, 2007 oleh zainurie

Abstrak: Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar murid-murid belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi behavior memandang bahwa proses belajar terjadi melalui ikatan stimulus-respon, sedangkan psikologi gestalt berpendapat proses pemerolehan pengetahuan didapat dengan memandang sensasi secara keseluruhan sebagai suatu objek yang memiliki struktur atau pola-pola tertentu, dan ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.

Kata-kata kunci: Pengetahuan, Matematika, Behavior, Gestalt, Konstruktivis

1. Pendahuluan

Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna.

Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku.

Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dengan demikian, seseorang dikatakan belajar apabila setelah melakukan kegiatan belajar ia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu perubahan. Misalnya, ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, keterampilannya meningkat, sikapnya semakin positif, dan sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkah laku tanpa usaha dan tanpa disadari bukanlah belajar.

Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Hal ini berarti bahwa belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar —dalam makalah ini yang dimaksud adalah pengetahuan (Hudojo, 1990:2). Perolehan hasil belajar dapat dilihat, diukur, atau dirasakan oleh seseorang yang belajar atau orang lain, tetapi tidak demikian halnya dengan proses belajar bagi seseorang yang sedang belajar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah terjadinya proses belajar sehingga seseorang memperoleh pengetahuan?

Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlangsung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk mengguna-kan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Misalnya Piaget (sebagai “bapak” psikologi kognitif), memandang bahwa pengetahuan terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Maksudnya, apabila pada seseorang diberikan suatu informasi (persepsi, konsep, dsb), dan informasi itu sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka informasi itu langsung berintegrasi (berasimilasi) dengan struktur kognitif yang sudah ada dan diperoleh pengetahuan baru. Sebaliknya, apabila informasi itu belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasi sehingga terjadi penyesuaian (akomodasi) dan baru kemudian diperoleh pengetahuan baru. Sebagai contoh, pada anak yang telah memiliki pengetahuan tentang konsep segitiga, kemudian diberikan oleh guru persegi panjang. Karena konsep persegi panjang ini belum cocok dengan konsep segitiga yang telah dimiliki anak, maka konsep segitiga itu direstrukturisasi sehingga dapat bersesuaian dengan konsep persegi panjang. Setelah itu, pengetahuan tentang konsep persegi panjang tersebut dapat berintegrasi dengan pengetahuan yang telah ada dan diperoleh pengetahuan baru berupa konsep persegi panjang.

Untuk memahami lebih jauh bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya khususnya pengetahuan matematika, maka tulisan ini akan membahas beberapa pandangan psikologis yang berkaitan dengan hal itu. Ada tiga pandangan psikologi utama yang akan diuraikan dalam tulisan ini yaitu pandangan psikologi Behavioristik, Gestaltik, dan Konstruktivistik. Uraian dalam makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal untuk memahami, mendorong, dan memberikan arah terhadap kegiatan belajar-mengajar matematika di sekolah.

2. Kajian Literatur dan Pembahasan

2.1 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Psikologi Behavioristik

Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam Orton, 1991:39; Resnick, 1981:12), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thorndike ini disebut teori asosiasi.

Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) menge-mukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan –yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.

Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus—respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).

Gagne—yang disebut Orton (1991:39) sebagai modern neobehaviourists— membagi belajar dalam delapan jenis, yaitu dimulai dari belajar yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah). Namun di dalam praktiknya, kedelapan tipe/jenis belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon (Bell, 1981:108-123; Hudojo, 1990:25–30).

Hal tersebut dapat dijelaskan dari pendapat Gagne (dalam Hudojo, 1990:32), bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan. Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon) kemudian diberi kode (secara mental). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan). Pengetahuan yang diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan yang telah disimpan pada tahap ketiga.

Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respon. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1998:4) bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respon, semakin sering asosiasi ini digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi.Jika dihubungkan dengan pengetahuan matematika, hal ini berarti semakin sering suatu konsep matematika (pengetahuan) diulangi maka konsep matematika itu akan semakin dikuasai. Sebagai contoh, apabila seorang anak telah mengetahui bahwa 3 x 4 sama dengan 12, kemudian anak tersebut sering ditanya tentang hal itu, maka ia akan semakin paham dan bahkan secara otomatis dapat menjawab dengan benar apabila ditanya, karena ikatan stimulus yaitu ”3 x 4 “ dengan responnya yaitu “12” akan semakin kuat.

2.2 Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan Psikologi Gestaltik
Psikologi gestalt dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism). Teori gestalt dibangun dari data hasil eksperimen yang sebelumnya belum dapat dijelaskan oleh ahli-ahli teori asosiasi. Meskipun pada awalnya psikologi gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakikat belajar dan pemecahan masalah (Resnick & Ford, 1981:129-130).

Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting. Menurut Kohler (dalam Orton, 1991:89) berpikir bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu. Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat dengan belajar dengan pengkaitan stimulus dan respon. Berdasarkan hasil penelitiannya ia membuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana (Resnick & Ford, 1981:143-144).

Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton, 1990:89). Para pengikut gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak jelas. Menurut Katona (dalam Resnick& Ford, 1981: 139) penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat memahaminya dengan tepat.

Untuk lebih memahami uraian di atas, perhatikan ilustrasi pada Gambar 1.

Gambar 1 Konfigurasi Titik
Diadopsi dari Resnick & Ford (1981:130)

Pada setiap gambar di atas terdapat bundaran kosong menunjukkan posisi yang berbeda sesuai dengan konteks (organisasi perseptual). Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan gestaltist seseorang yang memperhatikan konfigurasi titik (bulatan) yang terdapat pada setiap gambar (a) sampai (d) tidak hanya sebagai kumpulan titik yang terpisah-pisah, tetapi titik itu teorganisir berdasarkan prinsip tertentu. Dengan demikian, orang akan memahami setiap gambar itu sebagai kumpulan titik yang secara keseluruhan membentuk; (a) layang-layang (diamond), (b) segiempat, (c) segitiga, dan (d) segidelapan.

Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami.

2.3 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Konstruktivistik
Matthews (dalam Suparno, 1997) secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologi dan sosiologi. Kemudian konstruktivisme psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu: (1) konstruktivisme radikal, yang lebih bersifat personal, individual, dan subyektif, dan aliran ini dianut oleh Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan (2) konstruktivisme sosial, yang lebih bersifat sosial, dan aliran ini dipelopori oleh Vigotsky. Ernest (1996) secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak constructivism). Selanjutnya, yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah konstruktivisme psikologi/radikal yang dipelopori oleh Piaget dan konstruktivisme sosial yang dipelopori oleh Vygotsky.

Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme psikologi/radikal dalam belajar dipelopori oleh Piaget (Suparno, 1997). Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan. Bagi kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan stimulus-respon. Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana. Artinya, pebelajar dalam keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Bagi Piaget pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang/pebelajar terhadap lingkungan (Orton, 1991).

Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget (dalam Bell, 1981: Stiff dkk., 1993) berpendapat bahwa skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut. Hal itu, dikarenakan informasi baru tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah ada. Jika informasi baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang lama, maka akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemta yang telah ada, maka skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi baru itu. Dengan kalimat lain, pandangan Piaget di atas dapat dijelaskan bahwa apabila suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata (sruktur kognitif) yang telah dimilikinya maka pengetahuan itu akan diadaptasi melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada maka akan terjadi disequilibrium, kemudian struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali agar dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi equilibrium, sehingga pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi pengetahuan skemata baru. Untuk memperjelas uraian di atas perhatikan ilustrasi berikut.

Misalkan, pada seorang anak bernama Muhsin telah terbentuk skemata tentang persamaan linear yaitu pengertian persamaan linear, bentuk umum persamaan linear (ax + b = c), dan teknik penyelesaiannya. Suatu ketika kepadanya diperkenalkan persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0. Karena pengetahuan yang terbentuk dalam skemata Muhsin adalah tentang persamaan linear dan tidak cocok dengan persamaan kuadrat, maka Muhsin akan mengalami disequilibrium. Agar skemata tentang persamaan kuadrat itu dapat dibentuk, maka skemata tentang persamaan linear yang telah ada direstrukturisasi sehingga persamaan kuadrat dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasi dan diadaptasi, sehingga terjadilah keadaan equilibrium. Akhirnya, terbentuklah skemata baru atau pengetahuan baru yaitu persamaan kuadrat.

Dengan demikian, asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek penting dari proses yang sama yaitu pembentukan pengetahuan. Kedua proses itu merupakan aktivitas secara mental yang hakikatnya adalah proses interaksi antara pikiran dan realita. Seseorang menstruktur hal-hal yang ada dalam pikirannya, namun bergantung pada realita yang dihadapinya. Jadi adanya informasi dan pengalaman baru sebagai realita mengakibatkan terjadinya rekonstruksi pengetahuan yang lama yang disebut proses asimilasi-akomodasi sehingga terbentuk pengetahuan baru sebagai skemata dalam pikiran sesorang.

Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner. Meskipun Bruner mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget tetapi teori-teori belajarnya sangat relevan dengan tahap-tahap perkembangan berpikir seperti yang dikemukakan Piaget. Salah satu teori belajar Bruner yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi. Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak anak-anak masih kecil (Bell, 1981:143).

Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme sosial dipelopori oleh Vygotsky. Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan matematika merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan matematika adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif matematika yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan matematika; obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial (Ernest, 1991:42). Lebih lanjut, Ernest (1991: 43) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif matematika diinternalisasi dan dikonstruksi oleh siswa selama proses belajar matematika. Hudojo (2003: 1) menjelaskan proses rekonstruksi metematika yang dilakukan oleh siswa itu (menggabungkan pendapat Ernest, 1991dan Leiken & Zaslavsky, 1997) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan siswa dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi metematika konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Ketiga, pengetahuan subyektif matematika tersebut di”kolaborasi”kan dengan siswa lain, guru dan perangkat belajar (siswa-guru-perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, matematika yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi siswa setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika.

Untuk lebih memahami uraian di atas (siklus melingkar proses rekonstruksi matematika) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Proses Rekonstruksi Matematika oleh Siswa
(Adopsi dari Hudojo 2003)

Dari uraian dan contoh serta dalam gambar di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme radikal/personal maupun konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial.

2.3 Implementasi Pandangan Behavioristik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika

Para penganut aliran behaviorisme memandang terbentuknya pengetahuan karena terjadinya ikatan antara peristiwa-peristiwa (stimulus) yang dirangsangkan kepada seorang pebelajar dengan tanggapannya (respon) terhadap rangsangan itu. Semakin sering ikatan stimulus (S) dan respon ( R) dipergunakan maka akan semakin kuatlah ikatan itu. Jadi, kegiatan belajar sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan, dipandang sebagai sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Semakin sering sistem respon ini dilakukan, maka akan semakin dikuasai pengetahuan yang diperoleh. Oleh karena itu, guru-guru yang mengikuti faham behavioristik ini lebih banyak menggunakan pendekatan pembelajaran latihan dan drill. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.

Sebagai konsekuensi faham ini, guru-guru matematika yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Kemudian tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Sebagai contoh, misalkan bahan yang akan diajarkan adalah definisi relasi ekivalen. Pertama, diajarkan definisi refleksi, kemudian definisi simetri. Selanjutnya, dijelaskan kaitan antara definsi refleksi dan definsi simetri dan didapat definisi transitif. Akhirnya, diajarkan kaitan ketiga definisi, refleksi, simetri, dan transitif untuk mendefinisikan relasi ekivalen.

Dalam proses pembelajaran, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah dan ekspositori. Dalam proses pembelajaran seperti itu guru merupakan sentral, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid yang mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

2.5 Implementasi Pandangan Gestaltik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran manusia menginterpretasikan semua sensasi/informasi. Sensasi/informasi yang masuk dalam pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian/struktur tertentu. Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk suatu pengetahuan baru.

Dalam kaitan dengan pembelajaran matematika, uraian di atas dapat diperjelas dengan ilustrasi berikut. Andaikan seorang guru meminta siswanya untuk menentukan jumlah n suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + n.. Menurut pandangan gestalt, agar siswa dapat menjawab dengan benar ia harus memahami struktur masalah tersebut. Untuk mengarahkan siswa pada pengenalan struktur masalah yang akan diselesaikan, guru dapat membantunya dengan memberikan masalah yang lebih sederhana yaitu jumlah 10 suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + 10. Dengan demikian, diharapkan siswa dengan mudah dapat melihat strukturnya yaitu 10 + 1 = 9 + 2 = 8 + 3 = 7 +4 = 6 +5. Sehingga 1 + 2 + 3 + … + 10 = (10 + 1) + (9 + 2) + (8 + 3) + (7 + 4) + (6 +5) = 11 + 11 + 11 + 11 +11 = 5 x 11 = 10/2 x (10 +1). Akhirnya, siswa akan menemukan bahwa 1 + 2 + 3 + … + n = (n + 1) + (n-1 + 2) + (n-2 + 3) + … + ((n - n + 1) + n) = n (n +1).

Guru-guru matematika yang menganut pandangan gestal ini, akan mendesain proses pembelajaran matematika sedemikian rupa sehingga anak dapat belajar matematika dengan pengertian yaitu didasarkan pada pengorganisasian komponen-komponen materi yang akan dipelajari dan berhubungan secara terstruktur. Berarti kegiatan pembelajaran lebih berpusat pada murid. Tujuan pembelajaran lebih beorientasi pada proses dibandingkan dengan hasil akhir. Pendekatan pembelajaran matematika yang dapat memenuhi pandangan gestaltist ini adalah penemuan (reinvent/discovery) atau dengan pemecahan masalah.

2.6 Implementasi Pandangan Konstruktivistik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pendekatan Matematika
Berdasarkan pandangan konsruktivistik tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pebelajar untuk membangun pengetahuannya. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan (skemata) yang telah dimiliki pebelajar dan ini berlangsung secara mental. Dengan demikian, hakikat dari pembelajaran matematika adalah membangun pengetahuan matematika.

Sebagai implikasi dari hakikat belajar matematika itu maka proses pembelajaran matematika merupakan pembentukan lingkungan belajar yang dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (Nickson dalam Grows, 1992:106). Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstrukstivisme adalah sebagai berikut.

(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.

(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.

(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep matematika melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.

(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.

(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif

(6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mau belajar.
3 Simpulan dan Saran

Dalam era globalisasi saat ini, dunia terasa semakin sempit. Jarak dan ruang yang membatasi antarnegara terasa hilang. Arus informasi mengalir cepat seolah tanpa hambatan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di belahan bumi barat akan segera diketahui dan ditransformasi di belahan bumi bagian timur dan seterusnya.

Selain itu, globalisasi juga telah menghantarkan suasana kehidupan semakin rumit (complicated), cepat berubah dan sulit diprediksi (unpredictable). Kondisi ini membawa dampak persaingan yang sangat ketat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Siapa yang memiliki keunggulan kompetitif, dialah yang akan mendapatkan kemudahan hidup.

Agar dapat menghadapi dan mengikuti kondisi seperti di atas, pendidikan (khususnya pembelajaran matematika) harus memberi bekal yang cukup pada generasi baru anak Indonesia saat ini maupun di masa datang. Mereka harus dibekali dengan berbagai kemampuan yang handal, yaitu antara lain kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah.

Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pengajaran matematika di sekolah harus didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka secara maksimum. Dengan memahami bagaimana proses pemerolehan pengetahuan bagi setiap orang yang belajar seperti telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:(1) pembelajaran matematika yang proses pembelajarannya berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur (pandangan behaviorist) tidaklagi dapat dipertahankan. Karena seperti apa yang kita ketahui dan kita rasakan saat ini ternyata hasilnya tidak dapat memenuhi tuntutan keadaan sekarang maupun masa akan datang; dan (2) paradigma pembelajaran matematika kini dan yang akan datang harus lebih ditumpukan pada pandangan gestaltist dan constructivist. Dengan mendasarkan pada pandangan ini maka pembelajaran lebih berpusat pada peserta didik, bersifat analitik, dan lebih berorientasi pada proses pembentukan pengetahuan dan penalaran.


Pustaka Acuan

Bell, H. F. 1981. Teaching and Learning Matehmatics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company.

Ernest, Paul. 1996. “Varieties of Constructivism: A Framework For Comparison”.

In Seteffe, L.P. & Nesher, Pearla (Ed). Theories of Matehmatical Learning.

New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates, Publisher.

—————-1991. The Philosophy of Mathematics Education. Hamisphere:

The Parmer Press

Grows, D.A. 1992. Handbook af Research on Mathematics Teaching and Learning.

new York: Macmillan Publishing Co.

Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP

Malang

——————— 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan

Konstruktivistik (Makalah disjikan dalam Seminar Nasional Pendidikan

Matematika PPS IKIP Malang). Malang.——————— 2003. Guru Matematika Konstruktivis (Constructivist Mathematics

Teacher). (Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pendidikan

Matematika tanggal 27-28 Maret 2003 di Universitas Sanata Darma):

Yogyakarta.

Orton, Anthony. 1991. Learning Mathematics: Issue, Theory and Classroom

Practice. Iowa: Cassel

Resnick, B.L. & Ford, W.W. 1981. The Psycology of Matehamtics for Instruction.

New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta

Stiff, V.L, Johnson, L.J, and Johnson, R.M. 1993. “Cognitive Issue in Mathematics

Education”. In Wilson. I & Patricia. S (Ed). Reseach Ideas for The Classroom: High School Mathematics. New York: Macmillan Publishing Company.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta:

Kanisius

Tulisan ini, di tulis oleh: Rusdy A. Siroj,

Tenaga pengajar pada program studi pendidikan matematika Universias Muhammadiyah Palembang dan Mahasiswa S-3 Pendidikan Matematika pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

dan diambil dari: http://www.depdiknas.go.id/jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm

0 Comments:

Post a Comment