Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

PEMERINTAH, POLISI, DAN PT ARARA ABADI MESTI TANGGUNGJAWAB!

18 Desember 2008 Dusun Suluk Bongkal akan dieksekusi paksa oleh PT Arara Abadi bersama Antek-anteknya!


Salam Pembebasan!

Setelah mendapat informasi dari salah seorang pekerja PT Arara Abadi – namanya kami rahasiakan - pada tanggal 17 Desember 2008 bahwa hari ini (18/12/08) akan terjadi penghancuran dusun Suluk Bongkal (KM 42-47) desa Beringin kecamatan Pinggir kabupaten Bengkalis dengan dalih adanya pendatang illegal. Kekuatan yang dipakai oleh perusahaan adalah preman bayaran ditambah kepolisian. Sementara itu, posisi 911 – PAM swakarsa resmi PT AA – melakukan aktivitas jaga di pos-pos mereka. Ditengarai, kekuatan yang dikerahkan oleh PT AA sejumlah kurang lebih 1500 (informasi dari orang dalam) dan setelah diidentifikasi STR mereka berjumlah kurang lebih 1000 orang.

Secara historis, catatan yang kami peroleh tentang bahwa dusun Suluk Bongkal termasuk dalam Besluit yang dipetakan sejak Belanda menjalin kerjasama dengan kerajaan Siak, diperkirakan tahun 1940. Sekitar tahun 1959, dibuatlah peta yang mempunyai ketentuan pembagian wilayah memiliki hutan tanah ulayat batin (keabsahan suku Sakai ) termasuk didalamnya wilayah Suluk Bongkal. Setelah sekian lama masyarakat Suluk Bongal hidup berdampingan dengan suku-suku lain di dusunnya, sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dimaksud, konflik pun mulai mencuat, dan beberapa masyarakat dusun terpaksa pindah, karena tidak tahan lagi dengan pola kekerasan yang dilakukan oleh 911 selaku pengaman asset perusahaan.

Perlu kami sampaikan bahwa, sah-sah saja PT. Arara Abadi menegaskan kepada publik mereka memiliki Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan nomor 743/Kpts-II/ 1996 tentang PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 299.975 (DUA RATUS SEMBILAN PULUH SEMBILAN RIBU SEMBILAN RATUS TUJUH PULUH LIMA) HEKTAR DI PROPINSI DAERAH TINGKAT I RIAU KEPADA PT. ARARA ABADI. Perlu kami sampaikan disini pokok-pokok yang tertuang dalam SK tersebut adalah:

Ketetapan pertama point kedua disebutkan:

“Luas dan letak definitif areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) ditetapkan oleh Departemen Kehutanan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan batas di lapangan.” Persoalannya kemudian adalah, kami belum mendapatkan satu info pun tentang sosialisasi hasil pengukuran dan penataan batas di lapangan, terkait SK tersebut.

Dalam ketetapan kedua yang memuat kewajiban-kewajiban perusahaan diantaranya:

· Point kedua Melaksanakan penataan batas areal kerjanya selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini. Faktanya kemudian adalah, kami belum pernah mendapati tentang areal batas kerja yang dimaksud, tertuang dalam sebuah surat yang dipublikasikan secara umum untuk diketahui khalayak ramai. Jika penataannya ditegaskan 2 tahun setelah SK ditetapkan, maka tentunya tahun 1998, PT Arara Abdi telah menyelesaikan seluruh proses inclaving terhadap kawasan yang telah dihuni masyarakat jauh sebelum mereka ada.


Dalam ketetapan keempat dimuat:

1. Apabila di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).

2. Apabila lahan tersebut ayat 1 (satu) dikehendaki untuk dijadikan areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), maka penyelesaiannya dilakukan oleh PT. ARARA ABADI dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan- undangan yang berlaku.


Selanjutnya, perusahaan juga mempunyai kewajiban yang ditetapkan pada ketentuan III:

A.1. diungkapkan bahwa, perusahaan wajib memperhatikan atau mengambil langkah-langkah secara maksimal untuk menjamin keselamatan umum karyawan dan atau orang lain yang berada dalam areal kerjanya. Bahwa, banjir yang diakibatkan oleh areal perusahaan yang tidak dirawat - ditandai dengan desa yang berada dalam kawasan HPH/TI PT Arara Abadi sering kebanjiran – adalah bukti kelalaian yang dapat mencelakakan orang. Banjir diduga disebabkan karena sedikitnya hutan penyanggah yang disisakan, serta tidak tepatnya perencanaan pembangunan (tidak seimbangnya antara pembangunan hulu dan hilir). Bukan semata-mata karena alamiah, melainkan karena prilaku manusia.

B.1. Perusahaan DIWAJIBKAN juga untuk membangun tempat ibadah-ibadah, pendidikan, kesehatan.

Terjemahan ketetapan tersebut menurut Serikat Tani Riau (STR) adalah, perusahaan dalam implementasi kebijakan Menteri Kehutanan, pastilah mendapati kenyataan adanya hal-hal yang sudah dikuasai masyarakat jauh sebelum SK dikeluarkan. Konsekuensinya, perusahaan tidak dapat melakukan klaim bahwa kawasan yang sudah dikuasai masyarakat merupakan areal HPH/TI nya, dan ada tuntutan jumlah tersebut mesti dikuarngi dengan areal yang sudah dikuasai oleh masyarakat. Dalam berita yang menyebutkan bahwa SK tersebut berlaku surut ke tahun 1991, STR menadapati informasi dari seseorang di desa Mandiangin bahwa, dianya menyaksikan pengerjaan kawasan di desanya sejak tahun 1984an dengan perusahaan yang berbeda, namun kemudian diketahui mempunyai lokus pengerjaan yang sama dengan PT. Arara Abadi. Meskipun STR hingga kini masih berusaha menemukan bukti-bukti apakah informasi ini dapat dipertanggungjawaka n apa tidak. Dilain sisi, STR juga menemukan fakta bahwa, Dusun Suluk Bongkal, merupakan dusun Tua yang sudah ada sejak dahulu. Beberapa anggota STR yang sekarang sudah berumur kurang lebih 40 tahun, mengaku lahir dan dibesarkan di dusun tersebut. Kemudian, karena satu hal mereka berpindah untuk sementara. Jika misalnya, pengukuhan dusun Suluk Bongkal yang diakui oleh Bupati Bengkalis dengan luas 4.586 hektar (tertuang dalam lembaran Pemerintahan Kabupaten Bengkalis no. 0817-22 0817-31.0618- 54 0616 63), maka timbul pertanyaan di benak kami, bahwa dimakah letak dusun tersebut? Ini adalah salah satu fakta dari sekian banyak fakta yang kami punya serta sedang kami selidiki kebenarannya. Jadi, tuduhan sepihak yang dilakukan oleh PT Arara Abadi bahwa masyarakat melakukan perambahan hutan milik Negara, itu tidaklah benar. Karena ada instruksi inclaving yang tidak pernah diungkap oleh perusahaan terebut. Sebagai bukti pengakuan mesti dikeluarkannya areal milik masyarakat, kami menduga bahwa perusahaan belum pernah melakukan inclaving di dusun Suluk Bongkal (atau bahkan bisa saja di desa atau dusun-dusun lainnya) sebagai mana yang dikehendaki oleh Surat Keputusan Menteri tersebut. Ini belum termasuk dengan perkebunan, perladangan, kuburan, dan lan sebagainya sesuai dengan garis yang sudah ditetapkan oleh SK dimaksud.

Lalu timbulah beberapa persoalan paska membesarnya gerakan STR dan membuka mata pejabat pemerintahan bahwa, masih terdapat kelemahan-kelemahan – bahkan kelalaian – dalam menangani perkara agraria, sehingga menjadi sangat rumit bentuk penyelesaiannya. Beberapa perosoalan dimaksud adalah:

1. Bahwa penyelesaian konflik yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintahan Propinsi, diserahkan kepada pemerintahan Kabupaten. Amat benar bahwa dalam Peraturan Presiden no. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan pada pasal 2 ayat 1 dan 2 diungkapkan bahwa “Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.” Kemudian ditegaskan bahwa salah satu kewenangan sebagaimana dimaksud adalah penyelesaian sengketa tanah garapan. Namun mesti diingat, bahwa dalam ayat 3 dijelaskan bahwa Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi, dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi yang bersangkutan. Bahwa, STR mempunyai pendapat, HPH/TI PT. Arara Abadi yang areal perkebunannya terletak di 5 kabupaten dan 1 kota di Propinsi Riau – sekarang meliputi; Siak, Bengkalis, Kampar, Pelalawan, Rohil, dan Pekanbaru – penyelsaian konfliknya mestilah diselesaikan oleh Pemerintah Propinsi. Karena , SK tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipish-pisahkan dan terletak di lintas kabupaten/kota. Makanya sangatlah tidak tepat jika penyelesaiannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Bahwa DPRD Riau telah berjanji – berulang memberika janji-janji – untuk membentuk panitia khusus penyelesaian konflik agraria, namun hingga sekarang janji-janji tersebut tidak kunjung terbukti. Dalam rangkaian surat Gubernur Riau nomor 100/PH/13.06, 100/PH/14.06, 100/PH/15.06 disebutkan bahwa invetarisasi dlakukan oleh pemerintahan dan perusahaan. Ketiga surat tersebut seakan tidak memberikan tempat kepada masyarakat untuk juga melakukan inventarisasi. Jika perusahaan diberikan jalan untuk melakukan inventarisasi, mengapa masyarakat tidak diberikan jalan yang sama? Bukankah yang bersengketa dalam hal ini adalah masyarakat dan perusahaan?

2. Bahwa benar hanya sebagian masyarakat yang mempunyai surat-surat resmi kepemilikan. Namun mesti diingat, perladangan mayarakat hanya dibuktikan dengan kapan dia mulai membuka lahan terlantar dan dikerjakan. Behitulah berlakunya hukum yang berlaku di Negara kita. Perladangan yang dulunya dikelola oleh masyarakat asli, kemudian dikelola dan dengan catatan keberadaan yang lama – bahkan diatas 20 tahun – adalah sebuah benda/kawasan/ daerah garapan yang bisa menjadi hak kelolanya.

3. Bahwa isu yang beredar sekarang ini adalah, STR melakukan mobilisasi masyarakat pendatang untuk ikut campur dalam persoalan konflik ini. Yang benar dan perlu kami tegaskan disini adalah, keterlibatan masyarakat pendatang – yang sebenarnya sudah lama tinggal di sekitar daerah konflik atau berlainan desa – adalah dengan sepengetahuan, bahkan permintaan dari masyarakat korban konflik. Adalah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga STR prinsip-prinsip solidaritas perjuangan. Karena keterlibatannya adalah atas permintaan korban konflik, maka bisa dikatakan masyarakat korban konflik memberikan mandate langsung kepada mereka untuk ikut dan terlbat dalam perjuangan. Termasuk juga pendirian rumah-rumah yang ada di Suluk Bongkal, merupakan sepengetahuan dan permintaan langsung apparatus dusun, agar dusun kembali ramai – layaknya sebuah dusun – dan infrastrukturnya segera terbangun. Apa yang didapat dari kebersamaan ini? Bukankah belum ada warga Suluk Bongkal yang memnggugat keberadaan pendatang? Karena apa? Karena memang mereka sendiri yang meminta kehadiran masyarakat pendatang ini, yang dahulunya tinggal di desa tetangga. Dan sejak itulah kini Suluk Bongkal sudah kembali menjadi layaknya sebuah dusun dan telah ada sekolah darurat berdiri disana. Intinya, jika pemerintahan mengakui wilayah Suluk Bongkal merupakan sebuah dusun, mengapa saat PT. Arara Abadi menanami dusun dengan akasia dan banyak masyarakat memprotesnya sebelum tahun 2000an, tidak ada upaya penegasan dari pemerintah untuk melarang penanaman akasia dimaksud. Ingat, mempertahankan sebuah wilayah, walau itu berupa dusun seluas 4.586 ha merupakan kewajiban seluruh apparatus pemerinatahan mulai dari presiden hingga pejabat RT sekali pun dan masyarakat Indonesia .

Kami menegaskan bahwa, dengan alasan dan dalih apapun, perusahaan, kepolisian, atau siapa saja tidak mempunyai hak eksekusi atas tanah, rumah, bangunan dan lain sebagainya sebelum ada putusan pengadilan yang sah! Dan jika terjadi pertumpahan darah hari ini apalagi sampai ada korban meninggal dunia, maka yang beranggungjawab adalah Pemerintahan republik ini, polisi, dan perusahaan yang lamban dalam menyelesaikan konflik agrarian!


LAWAN PENJAJAH NEOLIBERAL DENGAN KEKUATAN RAKYAT!

Tanah, Modal, Teknologi Modern, Murah, Massal untuk Pertanian Kolektif

Dibawah Kontrol Dewan Tani/Rakyat!


Komite Pimpinan Pusat – Serikat Tani Riau

(KPP – STR)

Ketua Umum Sekretaris Jendral,





Riza Zuhelmi Muhammad Hambali



Bambang Aswandi. SE
Dir. Kelompok Advokasi Riau (KAR)
Mail to : benk_advokasiriau@ yahoo.com
Hp : +628126803467
Blog Design :
http://catatan- merah-dutapalma. blogspot. com/
http://blood- oil.blogspot. com/
http://handsoff. blog.dada. net/
http://www.slidesha re.net/bembenk
http://11asyik. multiply. com/

Siaran Pers JATAM, WALHI, HuMA, ICEL, KIARA, KAU, SPI - 18 Desember 2008

UU Minerba: Partai Berkuasa Langgengkan Rezim Keruk Cepat Jual Murah

Seperti ular berganti kulit, UU Minerba akan melanggengkan rejim keruk
cepat dan jual murah masa Orde Baru hingga pemerintahan SBY.
Undang-Undang ini dibungkus asas dan tujuan yang tampaknya lebih baik,
manusiawi dan peduli terhadap lingkungan, dengan memuat asas seperti
keadilan, partisipatif, transparansi, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Tapi kenyataannya, pasal-pasalnya beresiko membahayakan
keselamatan warga negara dan lingkungan sekitarnya.

UU Minerba disahkan dua hari lalu, diwarnai keluarnya 3 fraksi dari
ruang Sidang Senayan, yang hanya memperkarakan pasal peralihan. Jelas
pasal ini hasil kompromi partai-partai penguasa di Senayan, yang selama
ini banyak mendapat manfaat dari sektor pertambangan. Pasal yang secara
substansial kontradiktif satu sama lain dan dikhawatirkan tidak
operasional pada akhirnya.

Celakanya, partai-partai penguasa Senayan sama sekali tak memperkarakan
hal-hal mendasar. Pasal-pasal UU Minerba tidak menapak realita masalah
pertambangan di Indonesia, yang telah berlangsung 4 dekade lebih. Jika
dilihat cepat, ada beberapa hal krusial dalam UU Minerba.

Pertama. Tanpa tahapan kaji ulang dan renegosiasi Kontrak Karya (KK),
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B ) dan Kuasa
Pertambangan (KP), UU Minerba tak akan operasional. Sebab, di lapang
konsesi tambang yang diberikan semasa rejim orde baru, meningkat pesat
di rejim Otoda, sudah sedemikian luas. Dan sebagian besar konsesi telah
dikuasai pemegang KK dan PKP2B. Sementara, di UU ini keduanya tak boleh
disentuh.

Kedua. Di lapang, pasal-pasal UU Minerba akan menambah carut marut dan
memperparah konflik agraria. UU ini menguatkan ego sektoral, melalui
lahirnya Wilayah Pertambangan. Padahal di lapang, daratan kepulauan
sudah di kapling-kapling peruntukan dan perijinan industri ekstraktif
lainnya, macam kawasan lindung, penebangan hutan, perkebunan kelapa
sawit dan pertambangan. Adanya Wilayah Ijin Pertambangan Khusus (WIPK)
pada tahap kegiatan produksi seluas 25.000 Ha, tampak lebih maju
dibanding ketentuan perundang-undangan yang lama. Namun perusahaan
tambang bisa saja memiliki luas konsesi yang sama dengan Undang-undang
sebelumnya, jika memiliki beberapa IUPK dalam sebuah Wilayah Pertambangan.

Ketiga. Kriminalisasi warga negara. Celaka bagi penduduk lokal, dalam
penetapan wilayah pertambangan, ruang yang tersedia dalam UU Minerba
paling jauh hanya diperhatikan, tapi tak memiliki kekuatan. Veto rakyat
tak diakui, mereka hanya punya dua pilihan, ganti rugi sepihak atau
memperkarakan ke pengadilan. Bahkan, mereka beresiko dipidana setahun
dan denda 100 juta, jika menghambat kegiatan pertambangan. Ini lebih
represif dibanding UU sebelumnya. Sementara konflik-konflik yang lahir
dari penerapan UU sebelumnya tak disediakan ruang penyelesaian dalam UU
Minerba.

Keempat. Kawasan-kawasan lindung dan hutan adat tersisa akan terancam.
Sebab alih fungsi kawasan-kawasan ini bisa dilaksanakan setelah ada izin
dari pemerintah.

Kelima. UU Minerba bias darat. Ia tidak menempatkan urgensi menjaga dan
melindungi perairan pesisir dan laut, baik sebagai ruang hidup
masyarakat nelayan maupun untuk keberlanjutan lingkungan. Dalam banyak
kasus, wilayah pesisir dan laut menjadi jamban limbah dan kegiatan
pertambangan. Hak masyarakat nelayan atas kualitas perairan yang sehat
diabaikan.

Keenam. UU ini menggunakan pendekatan administratif dalam proses
perijinannya. Hal ini dipastikan tidak akan dapat efektif dalam
penanganan dampak pencemaran maupun kerusakan lingkungan yang berdimensi
ekologis. Ambil contoh, pencemaran pertambangan di perairan laut, dapat
meluas melampaui wilayah izin konsesi yang diberikan pemerintah.

Ketujuh. UU Minerba akan mempercepat perusakan prasarana dan sarana
umum, dengan memperbolehkannya dimanfaatkan menjadi sarana pertambangan.

Kedelapan. UU Minerba kontradiktif dengan UU Lingkungan Hidup, yang
mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup mengajukan gugatan
terhadap korporasi, mana kala terjadi perusakan lingkungan.
Undang-undang ini menghadapkan rakyat ,di kawasan terisolir informasi
dan keberdayaan hukum berhadapan dengan perusahaan tambang yang memiliki
modal menyewa ahli hukum dan konsultan, juga membayar iklan di media.

UU ini tak menapak bumi dan abai terhadap situasi terkini dalam negeri,
tak hanya dalam kehancuran lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang
marak terjadi. Tapi juga makin menipisnya cadangan, tingginya angka
produksi dan melayani kebutuhan asing serta konsumsi bahan mineral
dalam negeri.

Partai-partai berkuasa di Senayan harus digugat keberadaannya, karena
melanggengkan rejim keruk cepat jual murah bahan tambang Indonesia. Ini
jelas bertentangan dengan asas dan tujuan yang ditetapkannya sendiri,
dan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33. [ ]

Kontrak Media :
Berry Nahdian Forqan (Direktur Eksekutif WALHI) : 08125110979
Siti Maimunah (Kordinator JATAM): 0811920462
Asep Yunan Firdaus (Koordinator HuMA): 08158791019
Rino Subagio (Direktur Eksekutif ICEL): 08129508335
Riza Damanik (Sekjen KIARA) : 0818773515
Dani Setiawan (Koordinator KAU) : 08129671744
Henry Saragih (Koordinator SPI) : 08163144441

;;