Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

Psikologi moral (Kebebasan, Conditio Sine Quanon Moralitas)


Kebebasan, Conditio Sine Quanon Moralitas

Oleh: Sukasah Syahdan
Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Vol. II, Edisi 31, Tanggal 26 Mei 2008
alt textKebebasan; (Sumber: unknown)

Mana yang moral mana yang tidak di masyarakat dapat menjadi sesuatu yang bergerak, dapat menjadi dinamis, tidak selalu statis. Stephen Pinker saat menulis tentang hal ini menyinggung tentang tombol moralitas dalam diri manusia. Katanya kalau tombol ini sedang aktif, maka seluruh sistem penilaian rasional kita diambilalih secara drastis. Pertanyaan yang tidak ia jawab adalah: can we reason with morality?

Tulisan ini menjawab: ya. Tidak terlalu sulit membayangkan bahwa apa yang moral tidak jarang berlandas pada sesuatu yang rasional, ilmiah bahkan. Dalam contoh Pinker, isu merokok yang kini dianggap terbuktikan berbahaya juga bagi orang lain, kini cenderung berubah dari isu kesehatan menjadi moral. Atau pelacur cenderung mendapat “pemaafan” kolektif ketika eufimisme “pekerja seksual” diperkenalkan. Tombol moralitas yang disebutnya tidak lain seperangkat alat, kalau boleh disebut demikian, atau semacam shortcut yang telah kita ketahui, lewat pembelajaran/pengalaman, sebagai means dalam menentukan tujuan tertentu, untuk digunakan pada suatu titik waktu tertentu dan dalam konteks dan latar yang tertentu.

Pertanyaan yang amat penting adalah who should reason for our morality? Ini tidak ditanyakannya, sebab memang di luar pembahasan sang psikolog di atas. Dan hal ini saya jadikan pokok pembahasan yang akan saya coba lalukan dalam tulisan singkat ini.

Siapakah yang harus menentukan moralitas kita? Siapa yang harus menentukan yang baik dan buruk? Apakah diperlukan faktor eksternal untuk itu, sebagai juri paling tidak?

Salah satu keberatan orang terhadap perekonomian pasar erat terkait dengan isu baik-buruk ini. Orang yang cukup cermat akan menyimpulkan bahwa perekonomian pasar semata merupakan himpunan aneka hasil valuasi/penilaian individu. Yang lebih cermat lagi akan menyimpulkan: kalau sebagian dari himpunan ini ternyata tidak menyenangkan, maka kesalahannya terletak pada proses penilaian individu-individu tersebut, bukan pada sistem perekonomian.

Kalau argumennya stop di sini, tidak ada masalah konseptual. Namun, kalau si cermat dan si lebih cermat tadi lalu menarik implikasinya terlalu jauh dengan mengatakan bahwa justru di sinilah diperlukannya intervensi pemerintah, maka kegegabahannya dalam menalar harus dikatakan telah menindih segala cikal kecermatannya barusan.

Bahwa intervensi pemerintah diperlukan untuk memperbaiki ekses pilihan individu sering pula dianggap sebagai bukti kegagalan pasar. Dan kegagalan pasar dipercaya harus dikoreksi pemerintah. Dasarnya, dalam konteks kita sekarang, adalah immoralitas yang muncul akibat unbridled market mechanism, atau mekanisme pasar yang tidak dikekang, yang ditentang oleh sejumlah besar penulis dan pemikir besar, termasuk bahkan filsuf liberal semacam Isaiah Berlin.

Satu pertanyaan riil yang belum lama diajukan kepada saya memang demikian adanya: bagaimana mungkin kita bisa menyerahkan perekonomian kita pada para pebisnis yang rakus, serakah dan egois?

(Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengulas serba sedikit tentang “kegagalan pasar” sebagai sebuah istilah. Kegagalan pasar adalah istilah salah kaprah hasil analogi dari fenomena-fenomena mekanis. Kalau kegagalan jantung, maka sang jantung tidak bekerja sesuai tugasnya. Kegagalan mesin tidak akan mengantarkan kita pada tujuan. Kegagalan pasar secara ketat harus berarti bahwa kita tidak dapat melakukan transaksi.)

Jawaban saya: ini menyangkut problem moralitas manusia yang tidak perlu dikacaukan dengan sistem pengelolaan perekonomian. Pada dasarnya tiap manusia mampu menjadi jahat dan buruk. Sebut saja ini kodrat; yang tidak dapat dinafikan; yang mustahil dihilangkan. Malah kalau ada doktrin yg mau mencoba kemusykilan penyeragamannya, dia harus dicurigai, sebab hal tersebut tidak logis dan akan merupakan penyiaan sumber daya.

Ya, kita semua cenderung enggan disebut tamak, baik itu yang betul-betul tamak atau hanya sekadar ‘tamak’. Tapi setiap individu berhak ‘tamak’ dalam memilih cara terbaik untuk kepentingannya. Namun, dia tentu perlu ingat bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya dan bahwa individu lain sama berhaknya. Masyarakat yang percaya kepada pasar bebas memiliki cara yang terbukti ampuh untuk meresolusi konflik yang mungkin timbul, yang paling andal adalah sistem penegakan hak milik pribadi, meskipun selama ini hanya ditegakkan sepotong-sepotong saja (atas dasar kekuatiran pada ketamakan tadi).

Sebagian dari hasil pilihan individual tidak bisa dipungkiri, memang kadang merupakan pilihan yang immoral, terutama dalam pengertian “normal” masyarakat kita saat ini. Masyarakat dikatakan cukup tak bermoral jika senang bermain judi ketimbang domino, atau minum minuman beralkohol ketimbang susu. Pemerintah dalam keyakinan sebagian pihak harus memperbaiki hal ini, atas asumsi bahwa masyarakart tidak dapat dipercaya mampu membuat pilihan yang baik bagi kepentingannya sendiri.

Tapi argumen ini adalah kontradiksi yang secara logis membunuh dirinya sendiri. Mengapa masyarakat dianggap tidak layak dipercaya mampu membuat pilihan-pilihan yang menyangkut penyelenggaraan hidupnya sehari-hari, sementara masyarakat yang sama layak dipercaya mampu memberikan pilihannya di saat pemilu terhadap para pemimpin yang mereka anggap secara moral lebih superior?

Sebaliknya, masyarakat yang menganjur-anjurkan pemerintahnya untuk mendikte perkara seperti ini adalah masyarakat yang menganjur-anjurkan pemerintah agar menjadi totaliter terhadap segala jenis pilihan dalam hidup mereka.

Kepada masyarakat dan pemerintah yang demikian hanya perlu diperlihatkan apakah anjuran tersebut secara logis dapat membawa kepada hasil akhir yang ingin dicapainya bersama. Dan di sini saya akan memanfaatkan tilikan praksiologis yang amat penting dari Murray Rothbard, seorang pemikir sosial yang pemikirannya belum banyak dikenal luas di negeri kita.

Kita misalkan saja suatu pemerintah ingin memajukan moralitas dan menghapuskan immoralitas di masyarakatnya. Asumsinya di sini adalah adanya moralitas obyektif, yang dapat diperdebatkan; namun, untuk tujuan pembahasan kali ini, kita terima saja. Yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah moralitas masyarakat dapat dipromosikan lewat kekerasan?

Misalkan A, B dan C adalah tindakan-tindakan immoral, sedangkan X, Y, dan Z tindakan yang moral. Dan misalkan Ari Lossa seorang mahasiswa adalah pemabuk-pengonsumsi minuman beralkohol yang akut. Kita di sini ingin mengubah Ari menjadi orang yang bermoral. Bagaimana caranya? Menurut pada penganjur peran pemerintah, jawabannya adalah: melalui paksaan. Kalau perlu kita todong dia di bawah ancaman pistol agar tidak melakukan A. Maka, konon, ia akan menjadi bermoral.

Apakah perkaranya hanya sesederhana itu? Akankah Ari menjadi bermoral? Apakah ia berubah menjadi bermoral lantaran memilih X ketika peluangnya secara paksa dilucuti untuk memilih A? Kalau Ari Lossa berakhir di penjara semacam Roy Marten, apakah ia menjadi bermoral karena ia tidak sedang mabuk-mabukan?

Kalau begini pengertian kita tentang moralitas, maka sebagai konsep dan pegangan hidup dia menjadi tidak bermakna. Sebab moralitas hanya bermakna sejati ketika orang berhak memilih mana yang moral dan tidak. Kebebasan adalah kondisi yang harus ada bagi segala moralitas, dan cuma ada satu cara terbaik untuk mempromosikannya: persuasi.

Jika orang tidak bebas memilih, apabila ia dipaksa oleh unsur eksternal untuk melakukan hal yang moral, maka yang sebenarnya terjadi adalah ia kehilangan peluang untuk menjadi moral. Ia tidak diijinkan untuk mempertimbangkan sendiri alternatif-alternatif yang ada. Saat kebebasan seseorang dalam memilih ditiadakan, ia bertindak atas kehendak diktator ketimbang kehendaknya sendiri.
Print This PostTags: kegagalan pasar, moralitas, pasar bebas

Tulisan lain yang mungkin terkait:

* Krisis Minyak, Krisis Pangan dan Mitos Kegagalan Pasar
* Solidarisme dan Laissez Faire
* Tentang Kematian
* Tentang Krisis Yang Berulang
* Kapitalisme, Ideal Yang Tidak Kita Kenal
* Menjadi Beradab dalam Kebebasan
* Hukum Praksiologi Dalam Menjawab Permasalahan Keadilan Bagi Petani

0 Comments:

Post a Comment