Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

Wacana Tanding Harus Dibangun

Wacana Tanding Harus Dibangun
Posted Desember 3rd, 2008 by Alien

* Artikel

"Kami belajar untuk menjadi mandiri, terhadap pangan, ekonomi dan energi" ujar Manis, seorang ibu dari kelompok Sistem Hutan Kerakyatan Tunas Lestari, dari Dusun Pesangoan, Lampung pada Seminar Nasional – Gerakan Politik Hijau Merespon Krisis Global di Gedung YTKI Jakarta hari ini (3/12). Ibu Manis menuturkan "Kami membangun kemandirian secara bersama dengan mengorganisir diri dan juga membangun kemandirian secara politik. Kami mendukung Sarekat Hijau Indonesia dapat menjadi salah satu perahu rakyat menuju Indonesia baru"

Senada dengan yang disampaikan oleh Ibu Manis, Muliadi, Sekretaris Jenderal Aliansi Rakyat Pengelola Lahan Gambut Kalimantan Tengah, telah melakukan perlawanan dan membangun kekuatan kolektif rakyat untuk berorganisasi, membangun kekuatan ekonomi dan melakukan penguatan gerakan politik.

Hendro Sangkoyo, dari Sekolah Ekonomika Demokratik, menyampaikan keadaan Indonesia akan semakin buruk bila tidak ada perlawanan terhadap rezim, termasuk yang sedang dibicarakan di Poznan, Polandia saat ini. Penting bagi kelompok gerakan untuk mencari tandingan dari model perluasan ekonomi yang basisnya bukan pembongkaran rumah rakyat dan bukan pembongkaran ruang hidup, yang kalau Indonesia ini basisnya pulau.

"Para petani sekarang sudah bergerak untuk melakukan pertanian berbasis keluarga yang ekologis" ujar Hendri Saragih, Sekjen Serikat Petani Indonesia yang juga Pimpinan Pusat La Via Campesina. "Sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat adat maupun petani tradisional selama ini melakukan pengelolaan pertanian yang efisien dan ekologis".

Apa yang dilakukan oleh ibu Manis dan pak Mulyadi, yang diperkuat oleh aktifis gerakan sosial yang selama ini banyak berdialektika bersama gerakan tani dan lingkungan, menjadi sebuah cerita yang seharusnya terus menerus disuarakan oleh gerakan sosial sebagai sebuah bentuk dari perlawanan komunitas terhadap mainstream ekonomi dan pembangunan yang selama ini menjauhkan rakyat terhadap akses dan kontrol terhadap sumber daya alam (SDA) dan ruang hidupnya. Begitu banyak fakta krisis yang dialami oleh bangsa ini, baik krisis ekonomi, krisis ekologis, krisis sosial dan krisis politik yang terjadi, dan sudah hampir dapat dipastikan yang akan selalu menempatkan kelas yang paling lemah sebagai korban dari sebuah sistem yang memiliki kekuatan, baik secara ekonomi maupun politik.

Wacana tanding untuk merumuskan sebuah dunia baru dan Indonesia menjadi penting untuk ditawarkan sebagai sebuah jalan baru bagi rakyat, terlebih kondisi politik dan ekonomi dunia saat ini menunjukkan fakta kegagalan sebuah sistem ekonomi dunia yang selama ini berlandaskan pada basis produksi kotor, ketamakan dan sudah dapat dipastikan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup. Krisis global yang terjadi, bahkan semakin menunjukkan hilangnya kedaulatan dan kemandirian bangsa ini yang disebabkan oleh ketergantungan Indonesia terhadap sistem kapitalisme yang basis pembangunan ekonominya bertumpu di sektor finansial yang begitu rentan dilanda krisis. Ironisnya, penanganan krisis global saat ini dan dalam konteks Indonesia sangat jauh relasinya dengan krisis yang dialami oleh rakyat dan tidak terintegrasi sama sekali dengan krisis global yang ada, selain krisis finansial antara lain krisis energi, krisis air, krisis pangan yang diakumulasi salah satunya oleh perubahan iklim.

Bahkan, komunitas yang selama ini memiliki pengetahuan dan pengalaman didalam mengelola sumber-sumber kehidupannya yang menjadi bagian dari survival komunitas terhadap mainstream ekonomi dan pembangunan, seharusnya menjadi bahan baku bagi bangsa ini untuk menjadikan krisis global sebagai sebuah moment bagi gerakan politik hijau untuk menawarkan wacana tanding dari komunitas untuk membangun kemandirian rakyat, keadilan sosial, kedaulatan dan kemandirian ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan hidup.


--
Khalisah Khalid
Mobile Phone : +62813 11187 498
Email : sangperempuan@ gmail.com
YM : aliencantik@ yahoo.com
www.sangperempuan. blogspot. com
www.sarekathijauind onesia.org

Relevankah Ekonomi Pasar Sosial?

Relevankah Ekonomi Pasar Sosial?

6.12.08

Oleh: RUDI HARTONO

Beberapa hari yang lalu, dalam Workshop Mahasiswa Mengagasa Jalan Baru
Indonesia, yang digelar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(LMND), dimana fadhil Hasan menjadi pembicara untuk sesi ekonomi, ia
melemparkan kesimpulan bahwa sistim neoliberal sudah gagal. Ketika
sebuah pertanyaaan di arahkan kepadanya, menyinggung soal alternatif
ekonomi, ia dengan jelas merujuk pada Ekonomi Pasar Sosial (EPS)
sebagai solusi.

Menarik, setidaknya buat saya, karena gagasan EPS yang identik dengan
kebijakan pemerintahan sosial demokrasi di Jerman kini sedang
mengalami krisis. Artinya, sebuah model ekonomi yang terbukti salah
hendak dipakai untuk menyembuhkan masalah ekonomi yang lebih ruwet
ketimbang Jerman, yaitu Indonesia.

Jerman dan Ekonomi Pasar Sosial
Ekonomi pasar sosial (Epasos) mulai dibangun di Jerman paska perang
dunia ke II. Konsep ini dikenalkan dalam kongres Godesberg, tahun
1958, setelah veteran-veteran kiri SPD yang tetap komitmen pada
perjuangan klas dan menolak ekonomi pasar meninggalkan partai,
sedangkan Jerman barat memilih berpartisipasi pada aliansi barat.
Ekonomi pasar sosial (EPS) dikampanyekan sebagai alternative terhadap
laissez-faire dan sosialisme.

ekonomi pasar sosial mencurigai kompetisi bebas dan ide laissez-faire,
tapi menghendaki peran negara yang kuat dalam membentuk dan menjamin
aturan ekonomi pasar, yang disebut "ordnung" (kebijakan membentuk
tatanan hukum bagi perekonomian) , yang tidak akan mencampuri mekanisme
pasar, namun lebih menjamin bentuk-bentuk kebebasan perjanjian dan
hak-hak kepemilikan pribadi dari pihak lain [1].

Pada tahun 1969, melalui koalisi dengan partai demokrasi Liberal
(FPD), sebuah sayap partai liberal, SPD berhasil mengontrol
pemerintahan. Segera program EPS diperkenalkan, terutama dengan isu
memperluas demokrasi dan redistribusi kekayaan. Pada masa kanselir
Willy Brandt, SPD memperluas hak-hak pekerja dengan membentuk dewan
pabrik dan hak menentukan bersama berjalannya pabrik besar. Ia
menggunakan pendekatan Keynesian dalam strategi investasi, yaitu
memperluas pembangunan infrastruktur publik, pendidikan, dan jaringan
pengaman sosial yang konferehensif, seperti pendidikan, kesehatan,
asuransi kecelakaan, pengangguran, dan dukungan dana bagi keluarga dan
anak-anak[2] .

Akan tetapi, Jerman dibawah pemerintahan sosial demokrasi tetap
merupakan masyarakat kapitalisme yang tersusun dan hierarkis; tetapi
polarisasi sosial, dalam pengertian mengikuti laissez-faire barat,
cukup berkurang. Pada pertengahan 1970-an, kapitalisme benar-benar
sedikit dijinakkan dari keserakahannya. Perkembangan ini berjalan
berkat pembangunan yang berkesibambungan dan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Tapi periode ini berlansung singkat, dibawah Helmut Schmidt,
pemerintah berhadapan dengan inflasi yang tinggi, pengangguran yang
terus meningkat, dan deficit anggaran yang begitu besar. Dari 1974
hingga 1982, pengangguran meningkat dari 4,7% menjadi 8,2 %, serta
upah pekerja yang terus jatuh sejak 1981.

Schmidt mencoba mengatasi perkembangan ini, antara lain, dengan
mengeluarkan dana pinjaman bagi investasi infrastruktur public dan
pengurangan pajak bagi aktifitas bisnis. Akan tetapi, upaya Schmidt
tidak memperbaiki keadaan, malahan dia harus jatuh dari kekuasaannya.
Setelah ini, kekuasaan SPD berakhir dan digantikan oleh pemerintahan
kanan CDU-FPD, yang menaikkan Helmut Kohl's.

Di bawah Helmut, kondisi jerman bukannya membaik, apalagi dengan
integrasi Jerman Timur, melainkan membawa kesulitan ekonomi yang cukup
parah. Secara nasional, pengangguran meningkat menjadi 11,4% pada
tahun 1994 (dan 19,5% di Jerman Timur), serta upah pekerja jatuh 7%
sejak tahun 1992. kehancuran ini memberikan angin pada kembalinya
SPDdalam pemerintahan. SPD berkoalisi dengan partai hijau untuk
membentuk pemerintahan, dan menjanjikan membawa Jerman pada "Inovasi
dan Keadilan", dengan reformasi pajak, pension, sistim pendidikan,
serta perundangan yang mengatur pasar tenaga kerja.

Dibawah Schröder, orientasi SPD semakin mengarah pada kebijakan
neoliberal. Dibawah kritik kelompok kiri SPD, Schröder bergabung
bersama Blair untuk membangun jalan ketiga; dengan menolak pendekatan
Keynesianism dan mulai mendekati mekanisme pasar dan globalisasi.
Pertumbuhan ekonomi menurun dari 2,9% pada tahun 2000 menjadi nol
persen pada tahun 2003, sedangkan pengangguran mencapai 10% (4,4 juta)
pada tahun yang sama.

Stagnasi ekonomi sudah di depan mata, Schröder mengantisipasinya
dengan serangkaian reformasi, seperti pemotongan pajak, pencabutan
subsidi, dan deregulasi pasar tenaga kerja. Upaya itu tetap mendapati
kegagalan. produksi industri turun 2,1% pada oktober 2002. sekitar
37.000 perusahaan kolaps pada tahun 2002, termasuk bebeapa perusahaan
besar seperti Kirch Media, Babcock, Fairchild Dornier dan Herlitz, dan
650.000 orang kehilangan pekerjaan. Pengangguran resmi tercatat 4,2
juta jiwa [3].

Krisis yang dialami pemerintahan Schröder menciptakan krisis
kepercayaan bukan saja anggota partai, tapi juga pekerja dan rakyat
Jerman. 38 ribu kadernya meninggalkan partai pada tahun 2003. pada
pemilu 2004, perolehan suara SPD hanya 21,4% (turun dari 30,7% pada
tahun 1999). Ini merupakan kekalahan terburuk sejak 1945[4] .

Keterbatasan- Keterbatasan Ekonomi Pasar Sosial

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan; bahwa; (1). EPS social tidak
dapat menghindar dari krisis, meskipun lebih lambat dibanding dengan
AS, tapi sejumlah reformasi-reformasi dan bongkar pasan sistim pajak
dan jaminan social oleh pemerintah Jerman membuktikan bahwa Epasos
sudah harus ditinggalkan. (2). Partai Sosial Demokrat (SPD) yang
mencomot EPS dan mempraktekkannya dalam beberapa puluh tahun kini pun
mengalami krisis dan mulai ditinggalkan pendukung fanatiknya, terutama
yang berlatarbelakang kiri.

EPS, seperti juga Keynesian, kapitalisme Negara, merupakan model-model
ekonomi yang tercipta, dalam berbagai penyesuaian- penyesuaian, untuk
mengantisipasi dan menunda krisis yang inheren dalam sistim
kapitalisme. EPS yang dipraktekkan Jerman, mungkin lebih mirip dengan
neoliberalisme yang sedikit jinak, yang disesuaikan dengan kultur
politik masyarakat Jerman atau ajaran social kristen; jiwa sosialnya
tinggi.

Di dalam sistim kapitalisme, ada 3 penyebab krisis yang inheren dalam
sistim tersebut, yakni; (1). Ketidakseimbangan antara produksi
kapitalis dengan kebutuhan real masyarakat, yang selalu dijelaskan
dengan anarkisme produksi. (2). Ketidakseimbangan antara keluaran
(kapasitas produksi) dengan kemampuan konsumsi massal—yang
parameternya adalah upah (daya beli) masyarakat. (3). Akumulasi
berlebihan, yakni tidak cukupnya produksi nilai lebih, dibandingkan
dengan jumlah capital yang diakumulasikan.

Di dalam kapitalisme, mekanisme pertukaran dan distribusi diatur via
mekanisme pasar yang kompetitif. Kompetisi pasar adalah aspek penting
dan mendasar dalam kapitalisme, yang mengatur bukan saja distribusi,
tapi juga soal penentuan harga dan panduan soal produk yang di mana
yang perlu dihasilkan dan tidak. Dengan kepemilikan pribadi satu
pihak, maka tujuan keterlibatan individu dalam mekanisme pasar yang
kompetitif adalah memaksimalkan keuntungan (profit).

Dalam situasi tersebut, EPS bukan untuk mengendalikan pasar agar
sedikit jinak, seperti yang diyakini sejumlah intelektual di
Indonesia, tapi justru menjamin kebebasan pasar. Makna kebebasan
disini adalah jaminan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi,
pasar terbuka, kebebasan memasuki dan keluar dari pasar, serta
kebebasan membuat kontrak-kontrak. Karena sifat pasar yang
hiper-aktif, kompetitif, dan anarkis, sehingga berpotensi mendorong
kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan hilangnya jaminan social. Maka,
EPS menawarkan beberapa katup pengamannya, diantaranya; (1).
pengaturan soal monopoli; maka pemerintah harus membentuk aturan anti
monopoli dan lembaga independent yang mengawasi persaingan usaha agar
tidak mengarah pada monopoli (mirip KPPU, di Indonesia). (2).
Redistribusi kekayaan; EPS menyadari bahwa distribusi dibawah
mekanisme pasar tidak akan melahirkan keadilan, maka Aucken
mengusulkan paket redistribusi kekayaan, salah satunya dengan pajak,
meskipun ia menentukan limitnya agar tidak menggerus investasi
produktif. (3) peraturan biaya eksternalisasi, terutama penggunaan
sumber daya alam, kesehatan dan keselamatan kerja, serta soal waktu kerja.

Model EPS sendiri di Jerman sedang mengalami krisis. Dari tahun ke
tahun, pemerintah selalu mendorong reformasi pajak, hingga diprediksi
bahwa nilai pajak Jerman merupakan terendah keempat di Eropa- 38.6%,
yang jauh lebih rendah dengan US pada 46,5%. Untuk pajak personal,
yang mencapai 56% pada tahun 1960-an, dan masih 53% pada masa akhir
jabatan Kohl's, dan pada tahun 2005 turun menjadi 42%. Reformasi pajak
yang dilakukan pemerintah Jerman, ternyata juga tidak mendorong sector
real berkembang, malah sebaliknya, semakin meningkatkan pengangguran,
kemiskinan, dan hilangnya sejumlah layanan social, akibat macetnya
distribusi kekayaan. Di masa lalu, sistim pajak telah mengikat
masyarakat Jerman agar tidak terseret pada filosofis ekonomi "yang
kaya semakin kaya", tapi di masa kini, sistim pajak lebih berorientasi
memberikan fasilitas kepada pemimpin bisnis, korporasi besar,
perusahaan perbankan, untuk menarik dananya dan menginvestasikan pada
sector yang menggiurkan, yakni kenaikan harga saham.

Kesuksesan EPS di Jerman dalam beberapa periode, terutama dalam
menekan pengangguran dan mempertahankan industrialisasi, terletak pada
investasi social (pembangunan infrastruktur publik, sistim jaminan
social, dll) besar-besaran dari Negara, karena periode booming ekonomi
dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketika periode itu berlalu,
segera ekonomi Jerman berhadapan dengan stagnasi ekonomi.

Jerman dan Krisis Finansial

Salah satu lapangan ujian bagi ketangguhan ekonomi suatu Negara adalah
seberapa kebal terhadap pengaruh krisis financial di AS. Ketika badai
krisis financial mengamuk, beberapa petinggi dan ekonom eropa
memuji-muji bahwa EPS akan manpu menyelamatkan Jerman dari krisis,
bahkan ada yang menganjurkan agar EPS dipraktekkan pada tataran
internasional, sebagai solusi ekonomi global. Hingga bulan September,
beberapa ekonom Jerman tetap optimis; bahwa tidak ada bank swasta dan
sector public tetap solid dan aman, bahkan beberapa Bank yang
menyimpan dana public, seperti Sparkasse dan Volksbank tetap aman.
Juga, di Jerman belum ada tanda-tanda gelembung perumahan, atau
tanda-tanda kekacauan dramatis dari harga properti.

Namun, optimisme ini berakhir karena terjadinya krisis likuiditas yang
melanda HRE dan mengarahkan pada kebangkrutannya. Dana 3,1 juta US$
hilang, tanpa ada hasil. Sektor industri Jerman, terutama otomotif
(Opel, Ford, BMW dan Mercedes-Benz) sedang mengalami kesulitan, akibat
penuruan permintaan (omzet) yang berlansung drastis. Perusahaan
software SAP, yang berbasis di Jerman Barat, telah bereaksi atas
jatuhnya permintaan dengan membekukan penyewaan. Lufthansa juga
menderita kerugian akibat penurunan travel bussines dan bisnis kargo[5] .

Beberapa lembaga penelitian di Swiss, Austria, dan Jerman, telah
mendokumentasikan laporan yang menyebutkan prediksi pertumbuhan
ekonomi Jerman, pada tahun 2009, hanya 0,2%, serta jumlah pengangguran
yang meningkat drastic. Bahkan, Hans-Werner Sinn, kepala institute
penelitian ekonomi (IFO), yang berbasis di Munich, membuat kesimpulan
catatan "situasi sudah sangat mencemaskan". Nilai ekspor Jerman
sendiri sudah jatuh 2,5% hanya untuk bulan Agustus saja[6].

Apa yang disebutkan disini, meskipun belum mewakili keseluruhan, namun
sudah dapat menjelaskan bahwa ekonomi Jerman benar-benar terperosok
dan tak dapat melepaskan diri dari krisis financial. EPS tidak dapat
membuat pertahanan ekonomi, yang melindungi kepentingan nasional dan
rakyatnya, dari serbuan krisis. Hal ini terjadi, selain karena Jerman
merupakan bagian dari sistim global yang sedang krisis, juga karena
beberapa pendekatan ekonomi pemerintah Jerman serupa dengan
pemerintahan kapitalis di AS maupun di eropa.

kesimpulan

Sudah hampir menjadi kesimpulan, bahwa sistim neoliberal telah menjadi
penyebab utama dari masalah ekonomi di Indonesia. Kesimpulan ini,
seharusnya menjadi titik berangkat untuk mendiskusikan jalan ekonomi
seperti apa yang bisa menjadi alternative, diluar neoliberalisme yang
gagal tersebut. EPS yang berdiri pada mekanisme pasar liberal tentu
juga bernasib sama dengan neoliberalisme, sehingga perlu dicoret dari
daftar pencarian.

Menurut saya, yang terperting dalam pencarian sistim ekonomi
alternatif setidaknya memenuhi kriteria berikut; pertama,
memperjuangkan pengambil-alihan kendali atas control sumber daya alam,
yang sebelumnya dikuasai dan dieksploitasi asing, untuk dimanfaatkan
pada pemenuhan kebutuhan rakyat dan dalam negeri. Kedua, mengutamakan
prinsip "kemandirian" dalam pengolahan sumber daya ekonomi, strategi
industrialisasi, serta kerjasama ekonomi dan perdangan dengan
bangsa-bangsa lain. Ketiga, memperbesar transfer sumber daya ekonomi
kepada rakyat, dengan memperbesar anggaran investasi social, seperti
pembangunan infrastruktur public, layanan pendidikan dan kesehatan,
perumahan, kenaikan upah pekerja, sarana produksi bagi petani, dll.
Keempat, memberikan tempat yang luas bagi partisipasi rakyat, terutama
dalam mendiskusikan prioritas perencanaan ekonomi, pembangunan, dan
pengalokasian anggaran.

Mohon Maaf, Atas segala kekurangannya!

Rudi Hartono, Anggota Redaksi BERDIKARI Online dan Pengelolah Jurnal
Arah KIRI

Catatan:
1. Dr. Rainer Adam, Ekonomi Pasar Sosial: Ludwig Erhard: Bapak dari
apa yang disebut Keajaiban Perekonomian Jerman,
Friedrich-Naumann- Stiftung.
2. Bill Smaldone, Krisis Sosial Demokrasi Jerman, 2002, Jurnal Solidarity

3. Crisis and class struggle in Germany, Jurnal Sosialism today, edisi
72 feb 2003
4. Bill Smaldone, Krisis Sosial Demokrasi Jerman, 2002, Jurnal Solidarity
5. Majalah DER SPIEGEL Online, edisi 15 oktober 2008
6. Ibid

Baca Selengkapnya!

;;