Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

Bisnis Agrofuel, Kolonialisasi Perkebunan

KOLOM, 46-47



Bisnis Agrofuel, Kolonialisasi Perkebunan



Khalisah Khalid

Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia


Tergelincir Sawit

Meningkatnya permintaan bahan bakar nabati untuk pemenuhan energi yang dipandang tidak terlalu mencemari lingkungan hidup dan berkontribusi terhadap perubahan iklim, terutama di negara-negara industri, telah mendorong terjadinya perluasan perkebunan penghasil bahan baku nabati. Kebijakan investasi global lebih diarahkan pada pemenuhan industri penghasil energi nabati, termasuk terhadap penyediaan bahan baku. Kondisi ini mendorong pada terjadinya "pemaksaan" perluasan perkebunan penghasil bahan baku energi nabati, di wilayah-wilayah yang "dipandang" mampu menyediakan lahan skala luas. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mentargetkan luasan yang luar biasa untuk menjadi hamparan perkebunan besar kelapa sawit, kedelai maupun tebu, yang diarahkan pada dukungan terhadap energi nabati.

Pilihan komoditi lalu diarahkan pada kelapa sawit, karena dipandang komoditi ini mampu menyediakan kebutuhan energi "hijau" dalam jumlah yang cukup besar. Yang menjadi masalah kemudian adalah agrofuel berkembang mengikuti hasrat pasar, dan sebagai komoditas untuk memenuhi akumulasi modal tentunya. Paling tidak, ada tujuh kelompok besar industri yang berada dibalik bisnis Agrofuel di Indonesia yang menguasai kurang lebih seribu tujuh ratus hektar. Inilah yang kemudian terjadilah beragam permasalahan di wilayah perkebunan besar maupun pada industri pengolahan dasar, semisal konflik tenurial, kekerasan, penghilangan lahan-lahan produktif, krisis air, hingga pencemaran.

Berbagai permasalahan umum yang hadir pada setiap rantai produksi bahan bakar nabati terhadap komunitas lokal, diantaranya adalah: (1) meningkatnya beban kelola rumah tangga; (2) hilangnya sumber pangan akibat hilangnya lahan produktif pertanian; (3) meningkatnya biaya untuk pemenuhan kesehatan, energi dan air; (4) hilangnya sistem sosial dan budaya; dan lain sebagainya. Berbagai fakta penghancuran inilah yang menjadi indikator bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu basis produksi kotor yang diandalkan Indonesia, setelah industri tambang.

Kolonialisasi Perempuan di Perkebunan

Masalah lainnya adalah jika bisnis agrofuel ditarik pada garis sebuah entitas yang berjenis kelamin sosial perempuan. Dalam peristiwa yang ada diatas, nampaknya cerita perempuan sungguh jauh dari pembahasan tentang industri sawit, jika tidak mau dikatakan dihilangkan dari seluruh cerita tentang sawit. Dalam peristiwa kebanyakan yang bicara soal ekstraksi sumber daya alam, cerita perempuan menjadi sangat jauh dan seringkali kebijakan yang dipilih oleh pemerintah yang selalu bicara soal perluasan produksi, harga sawit, pasokan dan seterusnya yang tidak relevan dengan cerita kekerasan yang dialami oleh perempuan yang hidup di sekitar perkebunan besar kelapa sawit.

Selain berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai dampak dari agrofuel, ada hal mendasar lainnya yang secara spesifik dialami oleh perempuan. Ekologi politik feminis melihat aspek pengetahuan, hak atas kekayaan alam dan sumber –sumber kehidupan, termasuk di dalamnya aspek akses dan kontrol, serta aspek institusi pengurusan kekayaan alam dan perjuangan merebut kembali hak atas pengurusan kekayaan alam dari perspektif gender, kelas, etnisitas, dan aspek-aspek lain (Rocheleau, Thomas-Slayter, Wangari 1996).


Pendekatan ini membuka peluang untuk melihat relasi kekuasaan dalam masyarakat yang dipengaruhi gender, kelas, etnisitas, agama, dan aspek-aspek lain. Pendekatan ini juga mengakui bahwa perempuan bukan entitas homogen dan bahwa perempuan memiliki kompleksitas posisi, fungsi, dan permasalahan yang dihadapi berdasarkan perbedaan kelas, etnisitas, dan hal-hal lainnya, sehingga pengalaman dan reaksi perempuan terhadap satu isu akan berbeda dengan perempuan lainnya.


Dengan menggunakan pisau analisis ekologi politik feminis, cerita yang diungkapkan oleh perempuan yang tinggal di area perkebunan besar kelapa sawit, mencoba untuk lebih dalam melihat bagaimana lapis kekerasan yang dialami oleh perempuan di perkebunan besar kelapa sawit disebabkan oleh penguasaan sumberdaya alam oleh para pihak yang memiliki kekuasaan, baik secara kultural maupun struktural dengan aktor utama negara dan pasar. Yang menghasilkan sebuah potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah. Dimana, peristiwa tersebut bisa berulang, berbabak-babak, berubah bentuk maupun pelaku.

Akumulasi dari beragam permasalahan pada penyediaan bahan bakar nabati, memberikan dampak yang lebih besar kepada kelompok rentan, yaitu perempuan dan anak. Dalam setiap rantai produksi tetes-demi-tetes bahan bakar nabati, terdapat beragam permasalahan yang menjadikan perempuan sebagai korban yang menerima dampak yang lebih besar di dalam sebuah komunitas korban bahan bakar nabati.

Sejak perkebunan besar kelapa sawit masuk, perempuan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap tanah, dan menempatkan perempuan sebagai buruh di perkebunan sawit tanpa adanya perlindungan formal sebagai tenaga yang membuahi dan menyemprot dengan menggunakan pestisida yang berbahaya bagi kesehatan perempuan. Konflik terjadi, bukan hanya karena terjadinya perbedaan persepsi antara komunitas lokal dengan pelaku pendukung agrofuel baik pasar maupun pemerintah. Konflik terjadi, karena kebijakan agrofuel telah mengabaikan pengetahuan dan pengalaman perempuan didalam mengelola sumber kehidupannya, khususnya sebagai penjaga dan pengelola sistem produksi rumah tangga dan produksi sosial. Bukankah pengabaian sebuah entitas dengan semua pengetahuan dan pengalaman yang melekat dalam dirinya sebagai sebuah bangunan tatanan social, merupakan bentuk yang paling mendasar dari sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia?

Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri sawit yang memang diketahui mempengaruhi air sungai masyarakat setempat. Kondisi ini bukan tidak disadari oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh perempuan, tapi mereka tidak punya pilihan ekonomi lain untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Terlebih, perkebunan besar kelapa sawit secara struktural juga membangun sistem kapital yang mampu menciptakan perubahan pola konsumsi pada perempuan dan masyarakat yang dibangun sedemikian sistemik oleh pasar, sehingga mampu merubah persepsi atau pandangan perempuan terhadap kebutuhan hidupnya dan bahkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri.

Potret kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup, yang dalam konteks ini dapat ditemui dalam cerita situasi global produksi agrofuel di Indonesia . Kelangkaan dari daya dukung alam yang dikeruk tanpa mempertimbangkan kerentanan dan keberlanjutan lingkungan, yang terjadi karena intervensi pasar dan negara, telah menyebabkan konflik terjadi di tingkat masyarakat dengan mengabaikan pengalaman perempuan maupun keberadaan perempuan sebagai subyek keberlangsungan reproduksi sosial, dan pada akhirnya menempatkan perempuan kelas paling bawah berada dalam kondisi terpuruk, terpinggirkan dan terabaikan dalam seluruh cerita yang bernama bisnis Agrofuel.

Sumber: FORUM Keadilan: No. 36,11 Januari 2009




--
Khalisah Khalid
Mobile Phone : +62813 11187 498
Email : sangperempuan@ gmail.com
YM : aliencantik@ yahoo.com
www.sangperempuan. blogspot. com

Rejuvenasi Gerakan Mahasiwa: Sebuah Kebutuhan Mendesak

Eka Nada Shofa Alkhajar

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan” (Soe Hok Gie).


Letupan semangat dari seorang aktivis dan demonstran bernama Gie seakan menjadi sebuah nilai idealis yang senantiasa mengilhami Gerakan Mahasiswa (GM) untuk tetap bertahan ditengah benturan zaman yang terus bergulir. Siapa yang memungkiri peran dari GM dalam mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia? Tidak ada.


Tak dapat dipungkiri bahwa GM memiliki peranan yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Sejumlah fakta sejarah menggambarkan peran dan kekuatan GM dalam mendorong terjadinya gelombang perubahan. Tumbangnya Orde Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto) adalah bukti dari keampuhan GM.


Namun, kini berbicara tentang GM sudah menjadi sebuah keyakinan bersama (common sense) yang berkembang di tengah masyarakat bahwa GM kini sudah melempem tak punya taji seperti dulu. Sialnya, hingga kini mahasiswa sekarang masih terus diajak untuk menyaksikan film dokumenter mengenai keheroikkan mahasiswa angkatan ’98 yang berhasil menjatuhkan rezim orde baru kala itu. Mereka diajak dalam romantisme sejarah yang sudah-sudah sampai harus terbuai di dalamnya.


Memang di Indonesia katakanlah gerakan tahun 20-an, 40-an, 60-an 80-an, dan terakhir reformasi ’98 sebagai contoh dari hiruk pikuk dari gerakan mahasiswa yang menggema hingga sekarang. Hanya saja yang perlu dipahami dan disadari bahwa hal tersebut adalah sejarah yang sudah berlalu. Sudah saatnya GM hari ini membuat lukisan sejarahnya sendiri.


Denny J.A. (1990) dalam buku Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an, mengungkapkan pertanyaan menggugah yaitu dimanakah GM harus mengambil posisi? Adakah kekuatan politik GM masih diperhitungkan?


Untuk menjawab pertanyaan di atas tentu saja tidak mudah. Harus dipahami terlebih dahulu, bagaimana konteks dan realitas dimana GM itu berada. Pertanyaan di atas tidak akan relevan dilontarkan pada negara yang memiliki sistem politik yang sudah terlembaga dengan baik. Sebagaimana di negara-negara maju dengan separation of power yang tegas dan ketat. Karena di sana kekuatan mahasiswa adalah non-faktor. Sebaliknya, pertanyaan tersebut menjadi sangat relevan bagi kondisi sosial politik di Indonesia, lebih-lebih untuk saat ini.


Untuk konteks sekarang yang diperlukan adalah meluruskan kembali rel pergerakan mahasiswa secara hati-hati dan peka terhadap konstelasi politik yang sedang dan akan terjadi. Jika kita tidak ingin terjebak dalam romantisme gerakan semu atau bahkan terus dikebiri oleh penguasa. Tak ayal bahwa rejuvenasi (peremajaan kembali) GM menjadi suatu kebutuhan mendesak di tengah kondisi GM yang saat ini boleh dibilang mengalami stagnasi dimana GM kini belum mampu menjawab tantangan zaman yang semakin cepat.


Untuk itu perlu dibangun kesadaran kolektif (collective conciousness) bersama bahwa perjuangan GM harus mampu memberikan kontribusi positif dalam upaya menjawab permasalahan di lingkungan sosialnya dan substansial umat. Dimana hal penting yang dapat dimulai dan dilakukan saat ini adalah bergerak memberdayakan masyarakat/ basis sipil (local empowering) semisal melalui pengembangan mitra basis dengan jalan menjadi pengorganisir komunitas (community development) dan advokasi kepentingan publik yang mana peran itu kini telah diambil oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang belum tentu memihak kepada masyarakat.


Diharapkan dengan adanya rejuvenasi GM maka dengan perlahan ditepislah anggapan bahwa perjuangan yang baik haruslah perjuangan yang heroik dan berdarah-darah, melainkan hal ini dapat dilakukan dengan cara menjadi perjuang sejati yang concern menyelesaikan permasalahan rakyat di tingkat mikro. Bergabung bersama rakyat, tidak sekedar memobilisasinya, melainkan untuk mencerdaskannya.


Di era otonomi daerah yang ditandai dengan bergulirnya desentralisasi dan meluasnya partisipasi publik seharusnya menuntut GM untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu Jakarta, menjadi isu-isu daerah. Hal ini bukan berarti isu nasional tidak penting, tetapi akan lebih manis dan bermakna untuk memecahkan masalah yang lebih dekat terlebih dahulu.


Selain itu, GM seperti HMI, KAMMI, IMM, PMII, GMNI, GP, PMKRI dan sebagainya diharapkan mampu menjadi kelompok penekan (presssure group) untuk mendorong terciptanya suasana yang ideal di tengah masyarakat. Kelompok penekan disini sebagaimana diungkapkan seorang pakar politik, Maurice Duverger, adalah “any group or organization which by persuasion, propaganda, or other means, regulary attempts to influence and shape the polices of goverment”. Kelompok penekan tidak langsung mengambil bagian dalam memperoleh kekuasaan atau dalam melancarkan kekuasaan itu sendiri, mereka bertindak untuk mempengaruhi kekuasaan sementara mereka tidak terlibat didalamnya; mereka melancarkan “tekanan-tekanan” atas kekuasaan yang sedang berjalan (Duverger, 1984).


Jika GM tidak mampu memainkan peranan dan memberikan kontribusi bagi pemecahan persoalan umat maka tak salah jika ada pendapat yang mengatakan bahwa GM kini lebih senang, maaf, hanya “beronani intelektual” saja. Hal ini bukanlah sesuatu yang harus ditanggapi dengan emosional akan tetapi dengan lapang dada sebagai sebuah kritik konstruktif bagi siapapun yang mengaku bagian dari GM. Sehingga GM nantinya tidak hanya pandai berwacana namun minim dalam aplikasi dan gerak.


Kedepan perlu dipahami bahwa GM merupakan sebuah kontinuitas gerak. Aktivis boleh berganti, strategi dan taktik dapat saja berubah, varian penindasan dapat saja lebih cantik, tetapi spirit perjuangan tidak akan pernah pudar. GM akan selalu hadir dalam dunia yang masih dikotomik. Artinya, bila ada kelompok yang menindas, GM akan melakukan perjuangan akselerasi bagi kaum tertindas. Hal ini sudah menjadi tanggung jawab moral GM untuk senantiasa memihak pada kaum yang tertindas. Kini rejuvenasi gerakan menjadi keharusan bagi GM untuk tetap mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah saatnya GM mulai berpikir untuk ”berjuang dalam bentuk lain”. Tidak melulu dalam gerakan ”asal bersebrangan dengan penguasa” maupun ”gerakan yang selalu berimplikasi politik”. Mungkin refleksi yang tepat bagi GM di awal tahun 2009 yang baru saja bergulir ini adalah apabila GM tidak menjadi bagian dari pernyelesaian masalah maka bisa jadi GM adalah bagian dari masalah itu sendiri. Gerakan Mahasiswa, Ayo Bergerak!.


Ketua Umum HMI Cabang Surakarta

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS Solo,

Penulis buku “Pahlawan2 yang Digugat”

Sumber: HMI Cabang Surakarta

Let's Visit My Personal Web
www.ressay.co. nr

;;