Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

Good Governance Hanya Kebohongan Publik

(Oleh M. Ahmadi*)

tulisan ini pernah di muat di SKH Kaltengpost ferbruari 2007.
Kolom Opini.


Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat, demikian bunyi pasal 33 ayat 3 undang – undang dasar 1945.

“Pembagunan” sebagai upaya pemenuhan hak - hak asasi masyarakat (hak – hak sosial, budaya, ekonomi dan sipil politik). Pembanguan bukan tujuan melainkan sarana untuk mencapai tujuan kemedekaan suatu bangsa dan negara yang diartikan keadailan, kemakmuran dan kedaulan warga negara/bangsa. sebagai perwujudan langkah pembangunan, terdapat Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang merupakan kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana – rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelanggara negara dan masyarakat ditingkat pusat dan daerah. Pembangunan nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip – prisip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.

Terlepas dari pinsip – prinsip dasar diatas, pembagunan acap kali dijadikan “jualan” yang sepertinya pada masa – masa sekarang cukup laku untuk digadang - gadangkan. Pembangunan dalam arti luas selalu dijadikan topeng pengelenggara negara (pemerintah) untuk melakukan “pengayaan – pengayaan” yang bersifat pribadi, keluarga dan golongan.

Demikian halnya disetiap daerah, baik pemeritah ditingkat propinsi, kabupaten dan kota kini tengah gencar – gencarnya menerapkan sistem (good governance dan efektive governance). Yang istilah itu sendiri adalah suatu upaya perwujudan penciptaan pemerintah yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kalimantan tengah terkait dengan visi misi gubenur kalteng “Membuka Keterisolasian” tentu tak terlapas dari perwujudan cita – cita mulia (good govenance dan efektive governance) itu. Menjelang dua tahun kepemimpinan gubernur dan wakil gubenur hasil pemilihan langsung ini memang harus diakui bahwa banyak hal yang tengah berubah pada bumi tambun bungai dewasa ini, perwujudan good govenance dengan membidik Infrasruktur, Pendidikan dan Kesehatan menduduki ratting utama dalam tiga besar priroritas pembagunan, jika didukung oleh aparatur pemerintahan yang baik adalah strategi jitu dalam mewujudkan pembangunan sebagaimana cita – cita bangsa yang dilandasi UUD 1945.

Belakangan, disebuah media cetak lokal di kalimantan tengah, tengah berjalan sebuah polling penilaian good governance kalimantan tengah, tiap – tiap kabupaten / kota bersaing dalam daftar poling tersebut, terlepas apakah itu memeng merupakan hasil refresentase dari 1,935 juta jiwa penduduk kalimantan tengah atau hanya refresentase dari “kekayaan” seorang pejabat negara yang kemudian membeli kupon dalam jumlah besar untuk mengangakat ratting daerahnya pada daftar urutan suara kupon polling terbanyak.

Hal yang sangat di sayangkan dalam pewujudan proses menuju good governance tersebut masih terjadinya pembohongan – pembohongan publik yang dikemas secara apik, kemudian dengan dalih keberhasilan pembanguan hal itu dilegitimasi. Praktek – praktek KKN masih “ter-endus” tajam disetiap proses pembagunan, dari istilah upeti untuk pemilik bendera agar bisa kekal berposisi, calo – calo proyek, legislatif bermain proyek, serta cara – cara lain yag tak kalah keji tercermin dalam setiap aspek administrator pemerintahan. Misalnya saja dalam pelelangan proyek, hal yang sering terdengar adalah justru pemenang proyek malah yang tidak ikut mendaftar dalam proses pelelangan tersebut. “Kong kali kong” istilah lazim terdengar tetap menjadi trend setter para eksekuttif, legislatif dan yudikatif.

Hal yang tak kalah menarik untuk ditinjau adalah Jika melihat pengerjaan panjang jembatan tambang nusa dengan panjang 3,7 km dari 7 km bisa di selesaikan dalam waktu 5 bulan, adalah sebuah maha karya yang tak tak ternilai sebagai bentuk keberhasialan pembanguan. Lain halnya dengan pengerjaan pada jembatan sei tulan. Bagi kalangan awam sangat aneh melihat proses pengerjaan jembatan tersebut.

Sejak bulan Mei 2006 permasalahan sei tulan mulai diketahui dan kemudian ditangani, pemasalahannya dan sampai sekarang tidak selesai-selesai? Padahal panjangnnya kurang dari 100 m. secara jujur proyek sei tulan adalah proyek yang tidak berhasil. Yang terlihat secara fisik hasil kerja sebelumnya beton retak, realnya, pengerjaan proyek ini sudah mengeluarkan dana yang tidak sedikit. kemudian dilakukan perbaikan dengan dana tambahan dari APBD dan APBN.

Dalam beberapa pemberitaan media, yang pada masa itu dikatakan kasubdin bina marga dan kasubdin pengairan yang menangani proyek tersebut, setelah menuai “kegagalan” Dengan asumsi bahwa proyek ini adalah proyek yang tidak cukup berhasil. Yang justru menjadi ironi dan cukup mengherankan lagi saat ini posisi kasubdin bina marga kemudian diangkat menjadi kasubdin pengairan dan kasubdin pengairan di angkat menjadi kasubdin bina marga.

Permasalahan sei tulan adalah sesuatu yang harus ditangani dengan serius, jembatan tersebut merupakan jalur transportasi darat yang menghubungkan ibukota provinsi dengan empat kabupaten di kalimatan tangah seperti Gunung Mas, barito selatan, barito utara, dan barito timur. Bukan hanya dana APBD yang di alokasikan untuk sei tulan bahkan APBN. Dalam sebuah kunjungan Kadis PU untuk melihat langsung kondisinya. Saat itu terlontar bahwa pada awal oktober dipastikan pengerjaan jembatan sei tulan pasti tuntas. Selajutnya ungkapan tersebut sampai saat ini tak terlihat realitasnya, dan masih belum tuntas juga higga sekarang. Lantas yang menjadi pertanyaan siapa yang harus bertanggung jawab atas ini?

Peran seluruh anggota DPRD untuk lebih kritis dan jeli terhadap permasalahan seperti ini sangat ditunggu, karena ini sebuah penyimpangan uang rakyat, atas nama proyek. Dan rakyat sudah membayar mahal (naik gajih) pada keberadaan mereka sebagai refresentase perwakilan dari rakyat itu sendiri.

Kalangan awam pun akan bisa menilai bahwa sebuah karya akan dilihat wujudnya / kuantitas, dengan melihat saja akan nampak kualitasnya, kokohnya sebuah hasil pengerjaan bangunan nampak secara kasat mata. Namun apabila secara wujud nyata yang dapat dilihat saja sudah acak – acakan maka logika kita pun akan berkata seperti apa perencanaannya? Apakah benar telah dilakukan survey dengan baik, atau hanya sekedar “jalan – jalan”. Bila demikian maka bukan pengerjaannya yang tidak benar tetapi perencanaannya.

Kenyataan – kenyataan segabaimana contoh ini kerap kali ditemukan, rakyat diposisikan sebagai objek yang diperlukan untuk melegitimasi melalui perwakilannya. Dalih pembangunan yang selalu “dijual” untuk perwujudan good governance telah lepas dari asas penyelengagaan negara, manipulasi dan persekongkolan jahat kepada negara. KPK wajib turun tangan atas hal seperti ini bahkan bukan hanya itu pemborong pun harus mengganti kerugian yang di akibatkan, selanjutnya petugasnya pun harus di tindak tegas kemudian diberi sangsi bukan malah dipromosikan pada jabatan lain.

Masyarakat pada level bawah tetap akan menjadi kelompok yang paling mudah untuk dijadikan kambing hitam, sementara legislatif tidak bisa diandalkan secara maksimal karena terlalu asyik “selingkuh” dan “bersetubuh” dengan pasangannya (eksekutif), sementara yudikatif tak ubahnya anjing yang kerjanya siap mengggonggong apa bila tidak mendapatkan jatahnya.

Good governance yang berasaskan ketertiban penyelenggaraan negara, kepentingan publik, transparansi, proporsional, profesionalitas, akuntable dan memiliki kepastian hukum tentu akan bisa terwujud jika memang dijalankan dengan baik, dan apabila adanya sebuah komitmen bersama untuk menjalankannya. Yang tentunya bukan hanya sebuah komitmen diatas kertas yang kemudian ditutup dengan map cantik masuk kedalam lemari arsip.

*) - Presiden Mahasiswa BEM Unpar
- Ketua PPD HMI Cabang Palangkaraya

0 Comments:

Post a Comment