Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

PIDATO TERLARANG RIZAL RAMLI "Menentukan Jalan Baru Indonesia"

*RIZAL RAMLI
kini berstatus tersangka. Ia dituduh menghasut dan menyebarkan
kebencian yang menyulut kerusuhan pada tanggal 24 Juni 2008 lalu, beberapa
saat setelah DPR setuju membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki
kenaikan harga BBM dan tata niaga BBM. **

Hasutan itu, menurut Bareskrim Mabes Polri yang tengah menangani kasus ini,
disampaikan Rizal Ramli dalam pidatonya di depan aktivis pergerakan
mahasiswa tanggal 24 April 2008 di Wisma PKBI.

Apakah benar Rizal Ramli menghasut?

Berikut ini adalah bagian pertama dari pidato Rizal Ramli yang telah
dibukusakukan itu. Judul asli pidato ini adalah:



Menentukan Jalan Baru Indonesia.

Selamat membaca!*

*Assalamu'alaikum Wr.Wb.*

Salam sejahtera dan selamat pagi.
Saya ucapkan selamat datang kepada tokoh-tokoh pemuda dan mahasiswa dari
seluruh Indonesia. Saya memahami, di sini hadir teman-teman dari Jawa Timur,
Jawa Barat, Bandung, Garut, Tasik, Jawa Tengah. Juga hadir teman-teman wakil
dari petani, pemuda, dan aktivis pergerakan.

Saudara-saudara, tahun ini adalah "100 Tahun Kebangkitan Nasional" yang
dimulai sejak 1908. Tahun ini juga 63 tahun usia kemerdekaan kita, dan 10
tahun reformasi. Tetapi mayoritas rakyat kita, saya bicara 80 persen yang
paling bawah, belum pernah bangkit sama sekali. Belum pernah menikmati
kebangkitan dan kesejahteraan. Belum bisa hidup nyaman. Justru saat ini
kehidupan bangsa kita sangat, sangat sulit sekali.

Kalau sepuluh tahun yang lalu, krisis ekonomi dan moneter, awal reformasi,
yang terpukul adalah bisnis-bisnis besar dan para professional, karena
mereka banyak mengutang dalam mata uang US dollar. Pada waktu itu ekonomi
rakyat, usaha kecil dan menengah (UKM), justru menjadi dewa penyelamat
perekonomian nasional.

Tetapi sepuluh tahun kemudian, saat ini, konglomerat, para pebisnis besar
dan para professional, sudah kembali kokoh. Bahkan ada yang lebih kokoh
dibanding sepuluh tahun yang lalu. Tetapi krisis yang sekarang ini, justru
mayoritas ekonomi rakyat, usaha kecil dan menengah yang yang paling
terpukul.

Kami baru kembali dari pejalanan terus menerus ke berbagai daerah. Di Jawa
Tengah, Jawa Timur, ternyata penjualan usaha kecil dan menengah itu anjlok
sampai sekitar 40 persen. Daya beli masyarakat kita sungguh terpukul. Jadi
boro-boro lebih baik, setelah sepuluh tahun reformasi, kehidupan justru
semakin sulit.

Tentu ada pertanyaan mendasar: Mengapa setelah 100 tahun Kebangkitan
Nasional, setelah 63 tahun merdeka, dan 10 tahun reformasi, kok mayoritas
rakyat kita tidak dapat apa-apa?

Nah, saudara-saudara sekalian, ternyata proses reformasi itu telah dibajak
oleh kekuatan-kekuatan lama, kekuatan yang memiliki uang, yang akhirnya
membelokkan arah reformasi itu. Reformasi juga telah dibajak oleh
pikiran-pikiran lama. Sehingga walau pun ada perubahan politik dari otoriter
ke demokrasi, walau pun sudah ada perubahan presiden, partai politik dan
sebagainya, tetapi jalan yang dipakai dalam bidang ekonomi masih "jalan
lama", jalan yang telah 40 tahun terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi
rakyat Indonesia.

Sudah tentu, kalau kita melihat perbandingan Orde Baru dan Orde Lama, memang
ada sedikit kemajuan di bidang ekonomi. Di zaman Bung Karno, rata-rata
pertumbuhan ekonomi hanya 3 persen. Sedangkan pada zaman Soeharto ekonomi
kita rata-rata tumbuh 6,5 persen. Ada kenaikan 3,5 persen rata-rata dari
Sukarno ke Suharto. Tetapi biaya rezim Suharto untuk menaikan pertumbuhan
ekonomi yang 3,5 persen itu sangat mahal.

Suharto meninggalkan hutang luar negeri US$ 150 milyar. Pemerintah Orba juga
menggunduli hutan. Tadinya hutan kita itu masih hijau pada awal Orba
berkuasa. Sekarang itu kira-kira tinggal 1/3-nya yang hijau. Nilai hutan
yang digunduli itu paling tidak US$ 100 milyar. Belum dari tambang dan
lain-lain, yang nilainya minimum US$ 140 milyar. Jadi biaya untuk kenaikan
yang 3,5 persen itu, total Orde Baru menghabiskan sekitar US$ 400 milyar.
Hasilnya apa?

Hasilnya, ekonomi Indonesia dikendalikan hanya oleh 400 keluarga yang
menguasai ribuan perusahaan. Mayoriytas rakyatnya hidup pas-pasan saja, dan
kalau kita lihat struktur ekonominya, persis seperti gelas anggur ini (DR
Rizal Ramli mengangkat gelas minuman bergagang panjang).

Ya, jadi yang di atas ini usaha-usaha besar dan BUMN yang tidak efisien,
kemudian pegangannya ini, yang kecil sekali, menjelaskan tidak adanya usaha
skala menengah. Tidak ada golongan menengah yang kuat. Kemudian sisanya yang
di bawah, adalah jutaan usaha kecil ekonomi rakyat. Jadi struktur seperti
gelas anggur ini sama sekali tidak adil, dan juga tidak baik untuk demokrasi
karena labil.

Struktur yang ideal itu adalah strukturnya seperti piramida. Struktur
seperti piramida ada yang besar yang efisien, ada golongan menengah yang
kuat, ada usaha kecil dan ekonomi rakyat yang juga efisien.

Nah, struktur "ekonomi gelas anggur" itulah hasil dari jalan lama yang
dianut oleh Orba dan dilanjutkan oleh pemerintah saat ini. Itulah struktur
(ekonomi) yang membuat mereka (konglomerat) itu besar karena dapat
macam-macam fasilitas. Dulu dapat hak monopoli, dikasih kredit berbunga
murah, dapat perlindungan tarif, dapat kuota, dan sebagainya. Jadi, negara
itu justru membantu yang kuat karena mereka yang mampu (memberikan upeti).
Sementara golongan menengah ke bawah nyaris tidak ada sama sekali. Padahal
yang paling bawah, yang menjadi landasan dasarnya itu, terdiri dari jutaan
usaha kecil dan menengah, ekonomi rakyat.

Kalau ditanya untungnya, golongan ekonomi menengah ke bawah ini nyaris tidak
ada sama sekali. Jadi mereka yang terdiri dari jutaan usaha kecil dan
ekonomi rakyat itu, kalau ditanya untungnya berapa, rata-rata untungnya
sangat rendah, kurang dari 5 persen. Itu pun karena tenaga sendiri, tenaga
keluarganya yang bekerja, biasanya tidak dihitung, tidak dibayar. Kalau
dihitung tenaga mereka dan keluarganya, ini sebetulnya tingkat keuntungannya
negatif. Karena itu, banyak yang makan modal.

Nah, sistem ekonomi yang seperti ini sungguh tidak adil. Karena secara tidak
langsung kelompok ekonomi menengah ke bawah ini menyubsidi yang di atas,
yang besar. Itulah salah satu penyebab mengapa mayoritas dari bangsa kita
belum menikmati hasil yang optimal.

Di negara-negara lain seperti Korea, juga Jepang, yang besarnya itu bukan
jago kandang, tapi jago di pasar internasional. Produk-produk mereka bisa
diekspor sehingga nilai tambahnya itu dari luar negeri dan dibawa masuk,
untuk menciptakan tambahan lapangan kerja di dalam negeri.

Menurut kami, struktur (ekonomi gelas anggur) inilah yang harus kita ubah.
Struktur yang bagaikan gelas anggur ini yang harus kita ubah menjadi
struktur piramida. Dengan begitu semua potensi rakyat Indonesia bisa
dibalikkan menjadi nilai tambah, dan menciptakan kesejahteraan. Sayangnya
pemerintah Yudhoyono ini adalah pemerintah "Orba bungkus baru", dengan
kepemimpinan yang tidak efektif. Kepemimpinannya lemah sekali.

Jadi apa gunanya kita melakukan perubahan dari pemerintahan otoriter ke
pemerintahan demokratis? Apa gunanya reformasi kalau yang terjadi ternyata
ini masih obat lama, "jalan lama" yang dibungkus dengan kepemimpinan yang
lemah sekali.

Saudara-saudara, itu kalau kita lihat strukturnya. Lalu bagaimana kalau kita
bandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur?

Saudara-saudara, 40 tahun yang lalu seluruh negara di Asia Timur pendapatan
rakyatnya rata-rata hanya US$100 per orang. Cina bahkan hanya setengahnya,
USD 50 per orang. Tapi sekarang, 40 tahun kemudian, Malaysia itu lima kali
dari kita sehingga lebih dari dua juta rakyat Indonesia bisa bekerja sebagai
TKI di Malaysia. Kok bisa, sama-sama mayoritas Melayu, kok Malaysia bisa
maju rakyatnya? Kesejahteraannya 5 kali lipat dari rakyat kita?

Taiwan sekarang pendapatan per kapitanya 16 kali dari kita, sehingga banyak
saudara kita yang bekerja di Taiwan sebagai TKI. Korea Selatan malah lebih
20 kali dari kita. Dan Cina, yang terlambat melakukan refomasi, baru dimulai
oleh Deng Xiaoping pada 1985, sekarang penghasilan rakyatnya 1,4 kali dari
rakyat Indonesia. Cina kini malah telah menjadi raksasa ekonomi, politik dan
militer di Asia.

Saudara-saudara, tentu ada sesuatu yang salah. Kenapa negara-negara lain kok
bisa lebih cepat maju dari negara kita? Rakyatnya punya pebekerjaan,
sehingga mereka bisa hidup lebih nyaman, lebih sejahtera. Sedangkan kita,
sama sekali tidak maju.

Saudara-saudara, jalan yang gagal itu, yang sudah 40 tahun dipakai, kami
sebut "Jalan Lama", yaitu jalan ekonomi yang diatur oleh apa yang sering
disebut "Washington Consensus". Dengan perangkat dari Washington, di mana
banyak hal, termasuk perundag-undangan, kebijakan dan peraturan pemerintahan
kita, dipesan dan diatur oleh kekuatan-kekuatan luar seperti Bank Dunia, IMF
dan sebagainya.

Saya berikan contoh. Indonesia pernah diimingi-imingi pinjaman US$ 400 juta
oleh Bank Dunia pada 2002. Syaratnya, Indonesia mesti bikin Undang-undang
Migas yang salah satu pasalnya mengatakan: Indonesia hanya boleh menggunakan
maksimal 25 persen produksi gasnya.

Bayangkan. Kita penghasil dan eksportir gas terbesar di Asia, tetapi kita
tidak boleh pakai gas kita sendiri, maksimum hanya 25 persen. Akibatnya kita
kesulitan gas. Akibat lainnya, dua pabrik pupuk di Aceh, PT Pupuk Iskandar
Muda dan PT ASEAN Aceh Fertilizer, tutup karena tidak ada pasokan gas!

Saudara-saudara, apa ini namanya? Ini namanya adalah "penjajahan model
baru". Ini namanya kolonialisme baru. Dulu Sukarno-Hatta berjuang puluhan
tahun, dipenjara di mana-mana di Indonesia, di Sukamiskin, di Banda, dll. Di
mana-mana mereka perjuangkan agar rakyat kita merdeka secara politik,
merdeka secara ekonomi, dan merdeka secara budaya (Tri Sakti).

Tapi yang terjadi sekarang justru yang terbalik. Terbalik karena kita
sekarang tidak merdeka secara politik. Ya politik luar negerinya yang masih
manut sama negara-negara besar, tidak betul-betul independen. Ya ekonomi
kita yang diatur kekuatan lain. Itu namanya, isitilah kita, dijajah kembali
tapi tidak secara langsung, tidak secara fisik, tidak secara militer. Tapi
ekonominya diatur, dan tidak mungkin si pengatur (asing) itu membuat rakyat
kita makmur.

Nah, di Asia Timur hanya 2 negara yang ikut dan diatur ekonominya oleh
lembaga seperti Bank Dunia, negara besar yaitu Indonesia dan Filipina,
dua-duanya gap jarak antara yang kaya dan yang miskin sungguh luar biasa,
dua-duanya pengganggurnya banyak sekali dan dua-duanya ekspor tenaga kerja
wanita, yang satu bisa bahasa Inggris yang lainnya tidak bisa bahasa Inggris
itu saja bedanya.

Nah, saudara-saudara, kita harus percaya ini. Kami percaya, kita bisa
mengubah keadaan ini. Tidak mungkin kita biarkan bangsa ini makin lama makin
terperosok, kehidupan rakyatnya makin sulit, presidennya sibuk bikin CD dan
nyanyi-nyanyi. Kayak kurang kerjaan… Lagunya selangit!

Waktu kami di Jawa Timur, kami ajukan pertanyaan sederhana kepada beberapa
petani dan beberapa kyai. Saya tanya, dan saya juga ingin saudara menjawab.
Saya ingin tahu mana bedanya pemuda (di sini) dengan petani di Jawa Timur.
"Saya mau tanya, masuk akal tidak Indonesia impor setiap tahun dua juta ton
beras? Masuk akal nggak? Masuk akal tidak setiap tahun kita impor 1,6 juta
ton gula? Masuk akal tidak kita impor 1,8 juta ton kedelai setiap tahun?
Masuk akal tidak kita impor jagung 1,2 ton setiap tahun? Masuk akal tidak
kita impor satu juta ton bungkil setiap tahun untuk makanan ternak?"

(Hadirin: "Tidak…!")

Saudara kurang kencang ngomongnya! Petani di Jawa Timur lebih kencang dari
saudara. Saya jadi malu lihat pemuda. Masuk akal tidak kita impor 1,5 juta
ton garam setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor 800 ribu ton beras
setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor 100 ribu ton kacang tanah setiap
tahun?

(Hadirin: TIDAAAK..!!")

Lho…, kok bisa kejadian? Ah, masuk akal, karena pemerintahnya tidak berpihak
kepada petani. Masuk akal karena pemerintah itu berpihak kepada importir
produk-produk pangan.

Saudara-saudara, kalau kita jalan-jalan di luar negeri, atau di Bali, kita
lihat sekelompok turis Jepang yang pakaiannya sederhana sekali. Turis Jepang
kan selalu pergi beramai-ramai. Kalau kita tanya pekerjaan mereka apa,
mereka bilang: Petani. Kita tanya lagi, luas tanahnya berapa? Tanahnya hanya
0,5 hektar. Di Jawa petaninya rata-rata juga punya tanah segitu, 0,5 hektar.


Kok bisa petani Jepang, petani Taiwan, dengan tanah garapan rata-rata 0,5
hektar, jadi turis dan pergi ke seluruh dunia? Tanahnya hanya setengah
hektar. Kok petani Indonesia nggak bisa?

Waktu di Jawa Timur, ada satu kiai nyeletuk kepada kami, "Boro-boro jadi
turis, Pak, ke Jakarta aja kita susah. Kalau kita mau keluar negeri, anak
kita mesti jadi TKI dulu…!"

Kok bisa? Kenapa petani Jepang bisa, kenapa petani Taiwan bisa? Karena
pemerintahnya pro petani.

Caranya bagaimana? Tentu oleh pemerintahnya dibikinkan irigasi yang bagus,
sudah tentu juga dikasih bibit yang unggul. Satu batang padi di Indonesia,
butir padinya hanya 150 butir. Di Jepang dan Taiwan padinya per batang bisa
menghasilkan 400 sampai 500 butir. Tidak aneh kalau produksinya satu hektar
bisa mencapai 8 sampai 10 juta ton.

Tapi yang paling penting, dan ini yang paling penting, ada kebijakan
(pemerintah mengenai) harga untuk menjaga harga hasil produk-produk
pertanian. Harganya tetap bagus. Caranya bagaimana? Caranya dikasih
perlindungan, dikasih tarif, sehingga produk (pertanian) impor menjadi mahal
di negerinya. Amerika juga melakukan itu. Eropa apalagi!

Makanya, tidak mudah kalau kita mau ekspor barang pertanian ke Eropa. Bisa
kena tarif, kena aturan teknis, kena standar, kena kriteria macam-macam.
Susah. Nyaris nggak mungkin kita bisa ekspor produk pertanian ke Eropa.
Demikian juga ke Jepang. Sehingga produk pertanian di sana itu bagus. Mau
tidak mau pendapatan petani juga tinggi. Apalagi kredit untuk petani di sana
sangat mudah, dipermudah dan dipermurah bunganya.

Intinya, yang paling penting, pemerintahannya pro petani. Di Jepang partai
yang berkuasa, LDP (Partai Demokratik Liberal) bisa berkuasa hingga 60 tahun
lebih karena pro-petani. Begitu dia tidak pro-petani, beberapa tahun lalu,
pemerintahan LDP jatuh. Tiga tahun digantikan partai oposisi.

Jadi, ada kaitan langsung antara kepemimpinan dan kekuasaan dengan kebijakan
pemerintahnya: Pro-petani dan pro-buruh atau tidak?

Demokrasi di Indonesia sebaliknya. Kekuasaan, sebelum dipilih, sibuk bujuk
rakyat. Setelah dipilih, lupa sama rakyat. Sibuk dengan nyanyi-nyanyi dan
bikin CD. Garis kebijakannya nggak ada hubungannya dengan rakyat biasa,
tidak ada hubungannya dengan petani, karena di atur oleh negara-negara maju
dan lembaga seperti IMF dan Bank Dunia.

Sebetulnya, kalau kita ingat 10 tahun yang lalu, tarif barang-barang di
dunia begitu tinggi. Tapi pemerintah Indonesia ditekan oleh IMF. Seluruh
tarif sektor pertanian ditekan menjadi nol, bahkan menjadi hanya 5 persen.
Akibatnya, bertani itu menjadi tidak menguntungkan. Seandainya pada waktu
itu kita tidak menyerah kepada IMF, tarif produk pertanian masih tinggi hari
ini, pada saat dunia kesulitan pangan, Indonesia seharusnya justru bisa
menikmati manfaat kenaikan dari kenaikan harga pangan itu. (bersambung dibawahnya)


Senin, 02 Februari 2009, 11:58:43 WIB

Laporan: Teguh Santosa

*Berikut ini adalah sambungan dari "Pidato Terlarang" yang disampaikan DR
Rizal Ramli dalam pertemuan dengan aktivis pergerakan nasional di Jakarta,
24 April 2008. **

Saudara-saudara, pemerintah saat ini terlalu percaya pada mekanisme pasar
ugal-ugalan. Hasilnya, selama pemerintahan Yudhoyono, anggaran program
anti-kemiskinan naik 2,8 kali.

Tetapi jumlah orang miskin bukannya berkurang, tapi justru bertambah.
Kenapa? Karena program anti-kemiskinan itu tidak efektif. Lebih banyak
sebagai alat untuk menyenangkan rakyat sesaat, sehingga rakyat senang
samanya beliau.

Yang kedua, yang lebih berbahaya lagi, adanya proses pemiskinan secara
struktural. Yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan. Ini lebih
berbahaya dari yang pertama.

Saya berikan contoh. Dulu banyak industri rotan di kawasan pantai utara
Jawa, mulai dari Cirebon, Semarang, Surabaya sampai Sidoarjo. Ratusan ribu
rakyat kita bekerja di industri rotan ini. Tetapi pemerintah kemudian
mengijinkan ekspor rotan mentah. Sehingga para pengusaha rotan (UKM) itu
kesulitan memperoleh bahan baku. Akibatnya, ratusan ribu pekerja industri
rotan menganggur. Sebaliknya, Cina yang mengimpor rotan mentah dari
Indonesia, tiba-tiba muncul menjadi industri rotan terkemuka di dunia.

Contoh kedua. Pemerintah ngomong membela petani, rekapitalitas petani, tapi
pemerintah juga mengijinkan lebih banyak ekspor pupuk ke luar negeri.
Akibatnya harga pupuk di dalam negeri naik 40 persen di seluruh Indonesia.
Pupuk jadi langka, sehingga banyak pupuk palsu. Semua ini bermuara pada
menurunnya hasil petani kita.

Saudara-saudara, saya baru saja dari Pati, Jawa Tengah, beberapa minggu yang
lalu. Saya baru bertemu dengan pengrajin perak dan kuningan di sana. Mereka
memakai bahan baku perak bekas dan kuningan bekas. Ternyata kuningan bekas
ini juga diijinkan untuk diekspor oleh pemerintah, sehingga para pengrajin
logam itu kehabisan bahan baku karena banyak diekspor. Maka banyak pengrajin
logam yang bangkrut.

Nah, kebijakan-kebijakan pemerintah yang bikin miskin rakyat seperti ini
tentunya yang harus kita lawan.

Saudara-saudara, Indonesia ini kaya sekali. Banyak memiliki cawan-cawan
emas, banyak memiliki industri pertambangan. Kekayaan alamnya luar biasa.
Tetapi kalau pemimpinnya bermental "inlander", tunduk kepada asing, maka
rakyat kita tidak menikmati secara maksimum cawan-cawan emas ini.

Tadi saya katakan, kita ini produsen gas nomor satu di Asia. Tetapi di dalam
negeri kesulitan gas. Kita juga eksportir batubara nomor satu di Asia. Tapi
PLN kesulitan cari batubara. Industri kesulitan cari batubara. Kita produsen
sawit nomor dua terbesar di dunia, tapi rakyat kita kesulitan minyak goreng.
Kenapa? Karena cara berpikir pemerintah kita persis dengan cara berpikir
mahasiswa kos-kosan.

Ya. Mahasiswa kos-kosan itu kalau tidak punya uang, caranya kan cuma dua.
Pertama, ngutang, ngutang, yang makin lama makin diinjak sama rentenirnya,
yaitu Bank Dunia dan bank negara kreditor. Dan yang kedua, kalau tidak punya
uang, jual atau lego barang. Mula-mula, kalau mahasiswa, jual celana jeans.
Ya, kan? (Hadirin tertawa!)

Lalu jual handphone, jual jam tangan, jual laptop. Buntutnya, bisa jual
diri.

Nah, pemerintah ini pola berpikirnya tidak jauh dengan mahasiswa kos-kosan.
Nggak punya uang, ngutang. Bukannya melakukan penghematan, melakukan
pengurangan pemborosan, tetapi justru malah bisanya mengutang. Kedua, mental
jual-menjual itu. Nah, kalau semua bahan baku, bahan mentah itu dijual, maka
tidak akan ada pekerjaan untuk kita, untuk rakyat kita. Tidak ada nilai
tambah untuk bangsa kita.

Coba lihat Singapura. Negara itu sebenarnya tidak ada apa-apanya. Tidak
punya bahan bakar. Impor minyak dari Indonesia. Dikilangnya diproses BBM
dari Indonesia, lalu dijual kembali ke Indonesia. Beli dari Indonesia, jual
kembali ke Indonesia. Tapi mereka dapat nilai tambah, dapat pekerjaan paling
banyak.

Jadi, pemerintah yang tidak memiliki visi, pemerintah yang tidak memiliki
strategi, pada akhirnya hanya jual-menjual sehingga tidak ada pekerjaan
untuk jutaan bangsa kita. Tetapi kalau pemerintahnya punya visi, bahan
mentahnya sebagian diproses di dalam negeri, sehingga ada jutaan lapangan
kerja, maka jutaan rakyat Indonesia tidak menganggur.

Jadi pemerintah yang mentalnya seperti anak kos-kosan ini, yaitu ngutang dan
jual dan jual, mulai dari jual sumber daya alam, jual BUMN, sampai jual
rakyat Indonesia sebagai TKI, ya karena dari awal dirinya sudah dijual.

Saudara-saudara, saya percaya, kita bisa melakukan perubahan. Saya yakin
kita mampu melakukan hal itu.

Nah, hari ini saya beberkan contoh sederhana. Pemerintah berencana menaikkan
harga BBM. Kok enak saja. Setiap harga BBM di pasar internasional naik,
bebannya dipindahkan kepada rakyat. Padahal pemerintah yang seharusnya
mengakui kesalahannya. Misalnya, karena terjadi penurunan produksi 300 ribu
barel per hari. Kalau produksinya masih sama, 1,2 juta barel per hari, kita
bisa menikmati kenaikan harga BBM itu. Tapi ini, lho, kok enak saja, situ
yang kagak mampu, bebannya malah diturunkan kepada rakyat.

Saudara-saudara, Indonesia itu impor 300 ribu barel minyak mentah setiap
hari dari Timur Tengah. Seharusnya kita bisa memperbaiki tata niaga minyak
ini, agar biaya produksi BBM turun 20 persen, sehingga apa yang dikatakan
subsidi itu akan menjadi lebih rendah. Kenapa kok nggak mau? Kan itu
gampang. Banyak pertanyaan seperti itu: kenapa nggak mau? Tidak mau karena
ada seseorang, orang Indonesia yang punya kantor di Singapura, yang disebut
"Mr. Two Dollar", artinya setiap dia impor dapat minimal US$2/barel, jadi
pendapatan orang ini setiap harinya: US$ 600 ribu atau Rp 6 milliar.

Nah, kenapa pemerintah nggak berani ganggu dia, ngusut dia? Kenapa
pemerintah ini bukannya menghapuskan sistem itu? Maunya main gampang,
kerjanya main naikan harga BBM, ya sudah pasti kecipratan. Nggak mungkin
pemerintah tidak cerdas. Masa soal gitu saja nggak ngerti. Jadi kalau
pemerintah ini umumkan kenaikan harga BBM, kita harus lawan…! Kita harus
lawan! Kecuali mereka (pemerintah) berani babat orang ini, yang tukang setor
ini. Berani babat apa tidak!.

Saudara-saudara, sama juga dengan listrik. Kini tarif listrik dinaikan
terus. Dikatakan pemerintah, subsidi listrik tinggi sekali. Tapi kalau kita
tanya berapa kerugian PLN atas kerugian ketidakefisienan transmisi listrik,
diprediksi kerugiannya hampir 14 persen. Paling tinggi di Asia.

Jadi, yang namanya subsidi, yang katanya besar dan lain-lain itu, sebetulnya
lebih banyak akibat Pertamina dan PLN yang tidak efisien. Akibat
pemerintahnya nggak mampu mengefisiensikan Pertamina dan PLN. Rakyat yang
kena bebannya!

Saudara-saudara, apa itu "Jalan Baru"? Saya tidak mau menjelaskan detail dan
teknisnya. Nanti ada papernya. Kita akan bagikan, dan nanti ada saatnya
untuk diskusi. Nanti malam.

Jadi dalam acara hari ini ada presentasi dari kami. Kita diskusi sedikit.
Nanti siangnya ada diskusi masalah sosial dan politik. Sehingga nanti ada
rapat tertutup. Wartawan-wartawan nggak boleh hadir supaya kita bisa
merancang tindak dan rencana aksi, jangan pasif.

Saudara-saudara, saya kira saya sudah bicara panjang lebar. Saya mau bicara
sedikit lagi. Satu cerita. Saya mau bicara sedikit kejadian pada 2004,
ketika saya menjadi penasihat ekonomi tiga calon presiden: Gus Dur, Pak
Wiranto dan Pak Yudhoyono.

Saya nggak akan cerita siapa orangnya, tetapi salah satu di antaranya
menang, jadi presiden. Waktu itu kami katakan, "Mas, kalau nanti jadi
presiden, kita ikuti caranya Mahathir. Rakyat Malaysia itu kebanyakan
tinggal di pantai barat, pantai timurnya kosong. Mahathir mengatakan, siapa
yang mau pindah ke timur, satu keluarga akan dikasih 7 hektar tanah, dan
dikasih kredit biaya hidup yang cukup untuk setiap keluarga. Mereka diminta
tanam cokelat, sawit, dan lain-lain."

Lima tahun kemudian, rakyat yang pindah ke kawasan timur tiba-tiba menjadi
kaya. Dibayar habis kreditnya. Dua tahun kemudian, rakyat Malaysia yang kaya
itu menjadi malas. Mereka lalu memanggil dua juta rakyat Indonesia sebagai
tenaga kerja untuk menggarap kebun-kebun mereka.

Saya katakan kepada capres itu. Malaysia saja bisa, mosok kita nggak bisa?
Tanah Indonesia kan jauh lebih luas dari Malaysia. Kita kasih tanah kepada
rakyat kita yang mau pindah ke luar pulau Jawa. Daripada dikasih kepada
konglomerat 3-4 juta hektar, kita kasih sama rakyat kita. Tetapi jangan
ikuti program transmigrasi. Program transmigrasi itu sejak zaman Belanda
hasilnya apa?

Tanah di luar pulau Jawa itu tidak sesubur di Jawa. Tanah yang diberikan
kepada transmigran hanya 2 hektar. Generasi pertama betul-betul kerja keras,
baru setelah satu generasi tanah itu subur. Tapi setelah itu anak-anaknya
yang rata-rata tiga sudah besar. Lalu tanah yang dua hektar itu dibagi tiga.
Hasilnya 0,7 hektar per orang. Lha, sama lagi seperti petani miskin di pulau
Jawa.

Jadi kita nggak boleh mengikuti model transmigrasi seperti itu. Kita harus
ngasih per keluarga itu 10 hektar. Agar tidak menimbulkan kecemburuan
sosial, penduduk daerah asli dikasih 20 hektar per keluarga. Itu lebih dari
cukup. Kita kasih kredit biaya hidup, satu tahun satu keluarga satu juta,
eh…satu bulan satu juta. Setahun hanya Rp 12 juta. Lima tahun, sampai panen
Rp 60 juta. Plus bibit dan lain-lain, satu keluarga paling banter selama 5
tahun menghabiskan dana Rp 100 juta.

Kalau mereka nanti panen cokelat, sawit atau lainnya dari kebun yang luasnya
10 hektar, mereka akan menjadi kaya dadakan. Bisa naik pesawat, bisa jadi
turis ke seluruh dunia, bisa kirim anak-anaknya ke sekolah yang bagus.

Saya ingat, saya ingat betul, capres mengeluarkan dua pulpen. Satu pulpen
merah, satu pulpen hijau. "Mas Rizal, ini (ide) bagus sekali, saya akan
lakukan," katanya sambil menggarisbawahi paper saya itu. Tapi hingga tiga
tahun kemudian, nggak pernah dengar ceritanya itu.

Satu lagi. Pada waktu itu kami katakan, kami kasih unjuk (kepada capres
itu), anak-anak Indonesia pada usia sekolah banyak yang kurang gizi,
terutama kurang protein. Kalau kita biarkan ini, akan ada generasi bodoh,
brain-damage satu generasi. Kita mesti ikuti pengalaman pemerintah Jepang
sehabis Perang Dunia II. Pada waktu itu Jepang kalah perang, pemerintahnya
miskin sekali. Tetapi mereka tidak ingin generasi mudanya bodoh. Karena
mereka masih ingin mengejar ketinggalannya dari Amerika, mengalahkan
Amerika, paling tidak di bidang ekonomi.

Pemerintah Jepang memaksakan setiap anak dikasih satu butir telur setiap
hari. Saya katakan kepada calon presiden tersebut, "Mas, kita kasih anak di
bawah 12 tahun di sekolah-sekolah satu telur saban hari. Nanti kami cari
susu, ya gimana cara dapat susu dua kali seminggu. Ini bujetnya untuk 5
tahun…!"

Bujetnya, anggarannya untuk itu semua, nggak ada artinya. Ini juga bagus
dampak ekonominya, karena untuk itu kita perlu jutaan telur. Pasti
peternakan (ayam) rakyat akan hidup. Saya katakan juga, kalau nanti
program-program yang lain gagal, paling tidak orang akan ingat sama telurnya
Mas…" Kembali Capres itu mengeluarkan bolpen merah dan bolpen hitam. "Ini
bagus sekali," katanya.

Sekarang, 3 tahun kemudian, tidak ada cerita tentang telur dan susu itu.
Anak-anak kita yang kena gizi buruk banyak sekali. Terus bertambah.

Dan, ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia modern, orang
Indonesia mulai banyak yang bunuh diri. Kok berani-beraninya? Wong tahu
kalau mati bunuh diri, menurut ajaran agama mana pun, itu pasti masuk
neraka. Jadi saking sulitnya ekonomi di Indonesia, saking tidak adanya
harapan, sementara pemimpinnya nyanyi-nyanyi di televisi, ya lebih bagus
bunuh diri saja.

Nah, kita berdosa kalau kita tidak lakukan sesuatu. Kita berdosa kalau
suasana yang sebetulnya bisa kita ubah ini, tidak kita ubah. Ada jalannya,
yang kalau tidak kita lakukan, kita berdosa…!

Saudara-saudara, dengan pikiran dan semangat seperti itu, kami ingin
mengajak saudara-saudara untuk merapatkan barisan, untuk mendorong proses
perubahan itu. Karena Indonesia memerlukan perubahan. Dan model pemimpin
saat ini hanya pemimpin tawar menawar, pemimpin transaksional, yang tidak
akan membawa Indonesia ke tingkatan yang lebih maju.

Kita perlu pemimpin-pemimpin yang transformatif. Nabi Besar Muhammad saw dan
nabi-nabi lainnya adalah contoh pemimpin transformatif. Bangsa Arab yang
jahiliyah, yang tidak beradab, bisa diubah menjadi bangsa yang beradab,
menjadi bangsa yang madaninya maju.

Di kelas manusia biasa, di negara tetangga kita, ada juga pemimpin
transformatif, seperti Lee Kuan Yew, yang membuat Singapura dari negara
kecil yang tidak ada apa-apanya, menjadi negara berpengaruh di Asia. Mahatir
Muhammad di Malaysia, yang rakyatnya 40 tahun lalu sama gembelnya dengan
kita, dia ubah, dia bangkitkan, dia beri kesejahteraan kepada mayoritas
masyarakat Malaysia.

Deng Xiaoping dan Zu Rong-ji di China, nggak ngurusin 200 juta orang, mereka
mengurusi 1,3 miliar orang. Dan mereka bisa kasih makan semua rakyatnya.
Kita yang penduduknya 230 juta orang, digudangnya Bulog nggak cukup beras.
Cuma ada satu juta ton lebihlah. Yah, karena banyak tikusnya. (Hadirin
tertawa!)

Saudara-saudara, Indonesia perlu pemimpin transformatif. Karena itu, tahun
2009 nanti, jangan pilih mobil-mobil bekas, karena seluruh Asia Timur
dipimpin oleh pemimpin yang pakai mobil balap, bukan mobil bekas.

Sebetulnya Indonesia sudah dalam proses perubahan. Ada lima kejadian pilkada
(pemilihan kepala daerah), di mana mobil bekas, tidak dipilih. Satu, yang
bersih dan memiliki integritas, tiba-tiba terpilih, tokoh-tokoh besar kalah
semua. Kedua, di Sulawesi Selatan, tokoh yang tidak dikenal, yang tidak
didukung partai besar, tiba-tiba malah jadi gubernur.

Di Jawa Barat, mobil-mobil bekas juga kalah, digantikan oleh anak-anak muda.
Dan di Sumatera Utara, nah, di Sumatera Utara agak aneh. Pemiilihan gubernur
dimenangkan oleh kombinasi tua dan muda, tapi dua-duanya bukan tokoh
terkenal, bukan mobil bekas.

Saudara-saudara, rakyat dan bangsa kita sudah dalam proses perubahan.
Pemuda, aktivis pergerakan dan mahasiswa justru harus di garda paling depan,
bukannya malah ngikut. Rakyat melakukan perubahan, pemuda mahasiswa malah
duduk di belakang. Pemuda, mahasiswa dan aktivis pergerakan harus berada di
garda paling depan dari perubahan. Terima kasih.



http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=70940

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=70947

0 Comments:

Post a Comment