Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....
Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....
Oleh Burhanuddin Muhtadi
Penulis adalah Master Bidang Politik, Australian National University (ANU);
sekarang analis politik Charta Politika Indonesia.
Mantan Perdana Menteri Inggris John Major pernah berkata: "You cannot run a nation by sound bites. No; but you can be elected by them and defeated by them."
***
Cobalah perhatikan penampilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika tampil di depan publik. Gaya busana yang dandy, wajah ceria dengan senyum mengulum di bibir, rambut yang disisir rapi, tutur kata yang tertata, dengan intonasi yang jelas, tapi berbobot intelektual tinggi.
Penampilan Yudhoyono itu makin sempurna jika disorot puluhan kamera wartawan. Yudhoyono memang dikaruniai wajah tele-genic (menarik dilihat di televisi) dan sangat sadar untuk memanfaatkan anugerah Tuhan tadi untuk meningkatkan pencitraannya di mata masyarakat.
Masih segar di ingatan pada saat Yudhoyono mengucapkan selamat atas kemenangan Obama dalam pilpres di Amerika Serikat. Yudhoyono berkali-kali mengulang congratulation speech-nya untuk mendapatkan gambar yang paling bagus. Padahal dia sudah dibantu dengan teleprompter (alat khusus yang biasa dipakai penyiar berita untuk membaca naskah).
Era Tele-politics
Tele-politics adalah sebuah fenomena baru yang menandai bergesernya peran partai politik dan munculnya dominasi media massa, terutama televisi, dalam menjangkau pemilih. Televisi muncul sebagai kekuatan baru yang lebih masif dalam menyampaikan informasi politik kepada masyarakat. Data survei menunjukkan bahwa masyarakat kita paling banyak mendapatkan informasi politik melalui televisi (87%).
Harus diakui, televisi mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga dan memerantarai hubungan yang lebih bersifat impersonal. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan politik konvensional yang mensyaratkan kehadiran seseorang, interaksi melalui televisi lebih bersifat one-way traffic communication, lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih.
Istilah tele-politics pertama kali dipopulerkan oleh Michael Bauman (2007), ahli cultural studies. Dia mengungkap debat calon presiden pada 26 September 1960 yang baru pertama kali disiarkan melalui televisi di AS sebagai awal mula berkembangnya tele-politics di negeri Paman Sam itu. Sebanyak 70 juta pemirsa memelototi layar televisi menyaksikan John Kennedy sebagai capres dari Demokrat melawan wapres Richard Nixon yang diusung partai Republik sebagai capres.
Kennedy tampil lebih artikulatif, dengan gaya komunikasi yang memukau, lebih muda dan jauh lebih tampan. Sebaliknya, Nixon lupa merapikan rambut dan jenggotnya. Pemirsa TV sebagian besar menahbiskan Kennedy sebagai pemenang debat. Sebaliknya, pendengar radio justru mendaulat Nixon sebagai pemenang debat karena dianggap lebih menguasai materi ketimbang Kennedy. Anehnya, kemenangan debat melalui televisi itulah yang kemudian mengantarkan Kennedy ke Gedung Putih
Mantra Iklan
Virus tele-politics kini mulai menjangkiti Indonesia. Riset terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang baru dirilis Januari 2009, menunjukkan meningkatnya elektabilitas Partai Demokrat (23%) dan Gerindra (3,9%). Menurut LSI, meroketnya suara kedua partai ini disebabkan oleh akseptabilitas publik terhadap iklan-iklan politik Demokrat dan Gerindra yang ditayangkan secara masif di televisi.
Yudhoyono juga menangguk untung melalui penampilannya yang meyakinkan melalui televisi dan iklan-iklan yang mengabarkan keberhasilan pemerintahannya. Sekitar 43% responden mengaku akan memilihnya jika pemilu diadakan hari ini, jauh melampaui kandidat-kandidat yang lain. Ketika di-trace back ke personality capres, Yudhoyono paling banyak mendapatkan kredit.
LSI mensinyalir munculnya gejala "silent revolution" (revolusi diam-diam) yang menandai dominasi media massa, terutama televisi, dalam mempersuasi pemilih. Memori pemilih, menurut LSI, lebih banyak dipengaruhi oleh iklan televisi ketimbang iklan radio atau suratkabar. Tak berlebihan jika iklan politik Gerindra menempati proporsi terbesar (51%) yang mempengaruhi memori pemirsa televisi. Dilihat dari tingkat viewership, 36% responden mengaku beberapa kali menonton iklan-iklan Gerindra, 21% responden menonton hampir tiap hari, dan 9% responden hanya menonton sekali. Hanya 34% responden yang mengaku tidak menonton iklan-iklan politik tersebut.
Menariknya, Gerindra berhasil mengemas iklan mereka dalam "kemasan" yang menarik. Iklan Gerindra bukan saja mengejar target awareness atau popularitas, tapi juga meningkatkan likeability dan electability mereka. Caranya dengan membidik melalui pesan-pesan yang menjadi concern utama masyarakat seperti kepedulian terhadap petani, nelayan, dan pedagang pasar tradisional.
Di sisi lain, iklan-iklan politik Demokrat juga tidak kalah masif dibandingkan Gerindra. Bedanya, Demokrat berhasil mendapatkan kredit dari kesuksesan pemerintah di bawah Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam bidang penegakan hukum, pemberantasan korupsi, peningkatan kesejahteraan rakyat melalui layanan kesehatan dan pendidikan.
Intinya, Demokrat berhasil men-frame kesuksesan pemerintah melalui bahasa-bahasa iklan yang sederhana dan straight to the point. Pada saat yang sama, partai-partai lain, kecuali PDI Perjuangan, belum cukup massif melakukan counter attack dengan merilis iklan-iklan kegagalan kebijakan SBY dan Kalla. Iklan PDI Perjuangan tentang sembako, dari sisi frekuensi penayangan, juga masih kalah dibandingkan iklan Demokrat. Akibatnya, menurut LSI, perilaku pemilih sekarang ditentukan oleh informasi sepihak yang diiklankan Demokrat.
Gejala tele-politics bahkan mempengaruhi elit partai dalam merekrut caleg. Karena artis memiliki popularitas tinggi, banyak partai-partai politik yang mendapuk artis sebagai caleg dengan maksud untuk memperbesar suara partai. Akhirnya, kader-kader partai yang memiliki kompetensi tergusur oleh hukum besi populisme, apalagi dengan sistem suara terbanyak yang lebih membuka peluang bagi artis popular untuk mengalahkan politisi yang sudah lama malang-melintang dalam dunia perpolitikan.
The Lying Camera
Di AS, ada adagium lama: "The camera never lies." Nyatanya, justru sebaliknya. Kamera justru mengkonstruksi citra menjadi realita. Bauman menyatakan bahwa kamera justru selalu berbohong. Melalui apa yang oleh kalangan televisi disebut "the illusion of presence," kamera berpretensi mempermak wajah asli partai dan politisi.
Cobalah kita kritisi iklan-iklan partai Demokrat dan Gerindra. Benarkah klaim-klaim Demokrat bahwa korupsi telah disikat habis pada masa pemerintahan Yudhoyono? Benarkah Gerindra memiliki keberpihakan terhadap petani dan pedagang kecil? Apakah Gerindra dan tokoh-tokoh partainya memiliki track record terhadap masalah pertanian, ataukah hanya sekadar mengklaim lewat iklan yang diputar terus-menerus melalui televisi.
Jozef Goebbels, Menteri Propaganda pada masa Adolf Hitler, pernah berkata: "Kebohongan yang diulang berkali-kali, maka akan menjadi kebenaran dan dipercaya publik." Realisme naïf yang dicekokkan terus-menerus melalui iklan televisi akan "memanipulasi" kebenaran. Menjadi berbahaya jika iklan-iklan kecap politik tadi ditelan mentah-mentah oleh masyarakat []