Selamat Datang Di Blogger AHMADI unTUk bUMI.....

Mari Menatap Pagi.....
Seraya Berucap....
Selamat Pagi bUMI.....
Aku Ada Karena Kau Ada....

Wahai Calon Pemimpin Besar.... Bersahabatlah Engkau Dengan Malam Dan Siang..... Karena Apapun Yang Engkau Miliki hari Ini.... Tidak Akan Cukup Untuk Mengubah Dunia..... Apalagi Melukis Langit Dengan Indah.....

PUISI kasih.....(dari seorang teman)

Palangkaraya, 31. Okt. 08

Untuk Insan yang mencuri hatiku,
Tetesan embun di luaran menambah dingin suasana, namun saat ini menjelang pukul dua dini hari aku masih membolak – balikkan badanku, begitu sulitnya aku pejamkan mata ini. Dingin yang menyeruak kedalam sumsumku saat ini tak terasa lagi, yang ada hanya sebuah angan yang sulit aku lukiskan dengan kata – kata. Kulirik angka di telepon genggamku telah menunjukan pukul 01.50, berarti kini aku telah sampai di hari rabu, hampir sepuluh hari sejak perjumpaan kita.
Dalam heningnnya pertiga malam dengan beberapa kali kokok ayam , lolongan anjing di seberang jalan rumah ini, aku masih terduduk menatap kedepan, melihat bisa – bias bayangmu.

Dinda …..begitu aku ingin memanggilmu, boleh kan? sekelumit kata penuh makna antara yang lebih tua dan muda antara adik dan kakak ,…antara…. Tak mau terlalu jauh aku berangan, namun hanya sebuah kemauan dan keilkhlasan serta waktu yang akan menjawabnya.

Boleh jawabmu…. Itu yang aku hendaki.
Dinda …
Biar kuhela nafas ini terlebih dahulu sebelum kulanjutkan rangkaian kata kata ini
Dinda…
Bukan aku ingin berlebihan dalam semua ini, semata hanya dari sebuah alur fikir yang terus mengalir dan akan lebih baik jika tanpa dusta aku muarakan di kertas ini.

Kau mengerti tentang senyuman dinda ?.
Senyum adalah sebentuk penyikapan atas hidup. Tanggapmu terhadap Tuhan, alam dan manusia sesama. Senyum adalah ekspresi jiwa pada segala.
Tentu kau yang paling engerti tentang senyummu dinda. Tapi bagiku, senyum tetaplah senyum yang bermakna harmoni. Dengan tersenyumnya dirimu padaku, itu berarti bahwa kau mengajakku berbagi harmoni. Entah itu harmoni rasa, entah itu harmoni jiwa.
Kau begitu pandai tersenyum. Sampai-sampai aku berfikir bahwa senyum telah menjadi seluruh asamu. Sungguh kau sangat lihai mengukir senyuman. Apakah memang kau terlahir dengan senyuman, atau kau terlahir sebagai senyuman? Atau bagaimana bila aku memanggilmu dewi senyuman dinda?
Tapi tampaknya kau memang begitu mengerti tentang arti sebuah senyuman dinda? Kau begitu faham bahwa begitu banyak hal, bahkan mungkin semua, dapat diluruskan dengan sedikit lengkungan di sudut bibirmu.
Aku mulai belajar tersenyum dari dirimu dinda. Meski bibirku tak seindah bibirmu. Meski senyumku tak semanis senyummu.
Maukah kau mengajariku tersenyum?

Kau mengerti tentang keikhlasan dinda?
Keikhlasan bermuara pada satu titik, dimana ego diri dan keangkuhan tidak lagi memiliki eksistensi. Tentu engkau meragu dan sangsi akan hal ini.
Tapi aku sangat yakin dengan hal ini. Bila ego dirimu merontokkan sayap hak milik dan klaim kebenarannya, bila keangkuhanmu menanggalkan jubah kesombongan dan kecongkakannya, maka kau akan hadir dengan telanjang di hadapan diri-Nya dalam kesendirian, kesunyian, kebisuan dan keheningan wujud-Nya.
Kau faham dengan maksudku, dinda? Kalau tidak, maka ambillah cermin dan tataplah lekat pada senyum yang kau ukir, di sana terpatri keikhlasan.
Apakah kau sadar, dinda?
Senyummu telah meluluhlantakkan ego diri dan keangkuhan.

Tahukah engkau tentang keheningan dinda?
Jangan kau menganggap aku mengerti tentang semua ini? Tidak, aku hanya belajar dari senyummu. Senyummu mengabarkan padaku bahwa keheningan tidak terdapat pada situasi dan suasana alam yang harmonis dan dunia yang tanpa suara.
Keheningan terhampar pada padang kebeningan jiwa yang dipenuhi hijaunya rumput keikhlasan dan keteduhan hitamnya bayang pohon kerelaan. Semilir sejuk angin kekhusyukan dan gemericik air pengorbanan menjadi musik yang berdenting lirih di pangkuan-Nya.
Tapi dinda, sungguh sulit membedakan suara suara hati nurani yang hening dan bening dengan bisik nafsu yang ramai, ribut dan meracau tanpa ujung pangkal. Namun lagi-lagi aku belajar dari senyummu, bahwa suara hati nurani akan terdengar jernih bila kita dapat menyusup kedalam taman kesunyian dan lolos dari pelukan dan dekapan tangan-tangan nafsu yang kekar.

Dinda . . . . .
¬¬¬¬¬Dalam rangkaian kata kataku ini aku cuma mau menyampaikan satu hal. Senyummu kemarin manis sekali kulihat. Lebih manis dari sebelumnya. Kau tahu kenapa? Itu karena hari itu, wajahmu tidak hanya dihiasi senyum, tapi wajahmu dilengkapi dengan berbagai makna hidup.
Ternyata kau menyimpan khasanah keindahan lain dari wajahmu dinda. Mungkin sebuah anugerah buatku, bisa mencandra anugrah tuhan. Ini diakibatkan oleh penampilanmu yang berbeda. Jilbab yang membalut kepalamu lebih bersahaja kali ini sehingga wajahmu ibarat purnama.
Kau tahu? Kau menjadi makin manis karenanya.
Dinda, aku berharap dapat melihatmu terus jilbab.

Dinda . . . . .
Jangan bertanya apapun padaku. Aku sedang berusaha mengosongkan jiwaku dari ego diri dan keserakahan. Semua ini kulakukan agar aku bisa memahami, mengerti dan mencintai orang lain.
Aku ingin kembali pada diriku yang pemalu.
Bukankah rasa malu merupakan sabuk pengaman bagi sebuah silaturahmi?

Bagaimana senyummu dinda?
Ingin lebih banyak aku bertanya padamu, setelah sekian hari lamanya aku tak berjumpa, tentu senyummu masih seindah dulu bukan? Oh ya, bolehkan aku meminta sesuatu padamu? Aku penasaran dengan wajahmu bila cemberut. Apa mungkin kau akan lebih manis bila cemberut? Apa mungkin kau akan lebih menarik bila merajuk?
Terkadang aku merasa, kau begitu manja hingga aku menjadi kaget dalam bersikap terhadapmu. Jangan memaksaku menunjukkan bahwa antara kita ada jejaring rasa yang tersulam diam-diam dalam hening dan beningnya hati, bahwa antara kita ada rajutan emosi yang mulai mengkristal dan memintal menjadi temali kukuh dan mengikat jiwa.
Aku takut dengan jejaring dan rajutan itu, ini mungkin sebongkah kebodohan. Tapi bagiku, ini penting untuk kusampaikan sebagai sebentuk keberanian untuk mengakui kekeliruan, kalau ini memang kekeliruan, terutama pada diri sendiri.

Dinda, aku takut kehilangan senyummu.

Dinda . . . . .
Seribu langkah menuju cinta tidak akan terasa. Karena cinta akan mengimpaskannya.

Ada yang harus kau tau dinda,
Kau miliki makna tersediri bagiku,
Tahukah engkau tentang kedalaman makna ?
Baiklah simaklah baik-baik.
Kedalaman makna akan kau gapai bila kau menjalani hidup dengan sederhana. Karena kesederhanaan adalah cermin yang begitu bening, karena kesederhanaan adalah ruang yang begitu hening.

Peritiga malam menjelang shubuh,
Lama aku merangkai kata-kata ini untukmu dinda.
Terus terang aku sengaja melakukannya, aku takut pada diriku sendiri. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya. Bahwa ada jejaring dan rajutan yang mempertautkan kita. Aku sadar, jejaring dan rajutan itu adalah sebongkah cinta. Tetapi jejaring itu telah menjeratku begitu kuat, rajutan itu menyeretku begitu jauh, memaksaku untuk memilikimu.
¬Bukankah cinta tidaklah berarti harus memiliki?
Bukankah cinta tidaklah sebuah janji untuk saling mengikat?
Bukankah cinta tidaklah sebuah akad untuk saling memiliki?
Tapi aku rasa tak bisa melepaskan diri. Makanya aku tak menghubungimu.
Dinda,...
Hari ini aku begitu gelisah, tahukah kau kalau dalam tidur siangku aku bermimpi tentangmu. Kau hadir dengan senyummu yang termanis dalam balutan jilbabmu yang bersahaja, begitu indah.
Tapi sungguh, semua itu membuat aku sakit. Kuingin senyum itu untukku, bukan untuk yang lain.
Aku tak ingin kehilangan segalanya, kalaupun bahkan aku mulai kehilangan kata. Mungkin kalimat ini adalah baris terakhir yang kutulis diam-diam untukmu, diantara sekian banyak kalimat yang masih kusimpan dan tak pernah tercurah sedikitpun padamu.

Dindaku, aku merindui kamu.


Palangkaraya, 19 Agustus 2008

0 Comments:

Post a Comment